Logo Bloomberg Technoz

Selain kinerja indeks, indikator kinerja pasar saham lainnya juga memang cenderung mengalami peningkatan, seperti nilai kapitalisasi pasar yang tercatat tumbuh 9,2% per tahun. 

Rata-rata nilai transaksi harian juga cukup positif dengan kenaikan mencapai 115% dari semula hanya sekitar Rp6 triliun menjadi hampir Rp13 triliun per September 2024.

Tak Berbanding Lurus

Namun, di sisi lain, Ekonom sekaligus pengamat pasar modal Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy menilai bahwa capaian pertumbuhan IHSG selama satu dekade Jokowi tak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi nasional.

Dia mengatakan, IHSG idealnya tumbuh sekitar 8,5% dalam satu dekade. Angka itu, kata dia, berasal dari fundamental pertumbuhan ekonomi nasional, yang rata-rata tumbuh sebesar 5,1%, dengan tingkat rata-rata inflasi yang sebesar 3,4%.

"Mestinya konvergen dengan pertumbuhan ekonomi kita  yang rata-rata 5,1%, inflasi juga 3,4%. Di Periode Jokowi, mestinya [pertumbuhan indeks] yang wajar itu 8,5%. Tetapi kenyataanya tidak sebesar itu," ujar Budi belum lama ini.

"Mestinya konvergen dengan pertumbuhan ekonomi kita  yang rata-rata 5,1%, inflasi juga 3,4%. Di Periode Jokowi, mestinya [pertumbuhan indeks] yang wajar itu 8,5%. Tetapi kenyataanya tidak sebesar itu."

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy

Budi pun menilai bahwa penyebab dari tak berbanding lurusnya pertumbuhan ekonomi dengan kenaikan IHSG itu berasal dari sisi ketidakpastian investasi dan kekurangan daya tarik pasar modal di Indonesia.

Selain itu, kata Budi, ketidakpastian politik dalam negeri juga turut kerap menghantui 'gonjang-ganjing' ekonomi dan pasar saham.

"Bisa dibilang, meski pertumbuhan emiten itu ya cukup, tapi kayak ini emiten ini diingat kayak masih kurang menarik untuk menggaet investor-investor," terang dia.

Emiten IPO, Bergairah?

Sejak Jokowi menjabat pada 2014, jumlah emiten yang tercatat sebanyak 502 perusahaan. Hingga Oktober 2024, jumlah emiten sudah tercatat sebanyak 938, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI).

Angka tersebut mencerminkan kenaikan mencapai 86,85%, dengan total raihan dana IPO mencapai Rp219,9 triliun. Tahun 2021 menjadi rekor perolehan dana IPO tertinggi yang mencpapi Rp61,61 triliun atau naik 1.060% secara tahunan.

Meski pertumbuhan tersebut terbilang cukup impresif, lanjut Budi, emiten-emiten tersebut dinilai masih belum mampu menarik investor.

"Kalau dilihat dari jumlah emiten sepertinya bagus hanya sekedar number saja itu bagus sampai 900
lebih, tapi secara kualitas dan juga market cap, itu belum begitu menggembirakan," ujarnya.

"Saya kurang begitu paham kenapa banyak perusahaan-perusahaan kecil, apalagi UMKM mau didorong itu bagaimana UMKM apa daya tariknya terhadap investor, terutama investor besar? Mestinya yang berkualitas. Jadi sudah waktunya kualitas yang diutamakan."

Catatan Berat di BUMN Karya

Salah satu peninggalan Presiden Joko Widodo (Jokowi), terutama selama periode 2014-2019, adalah pembangunan infratruktur. Hal ini sejatinya bagus untuk pertumbuhan ekonomi.

"Masalahnya adalah, kapasitas fiskal yang terbatas untuk mendanai proyek nasional. Kondisi ini kian buruk imbas masih maraknya korupsi, baik di level BUMN hingga pejabat publik, yang menyebabkan pembengkakan biaya [proyek]," jelas Analais Algo Research Alvin Baramuli.

Terbatasnya fiskal memaksa BUMN Karya mau tidak mau menggunakan kas internal terlebih dahulu untuk mendanai proyek. Kas internal ini bukan hanya dari cash on hand yang dimiliki, tapi juga instrumen lain seperti pinjaman atau obligasi.

Bendera Merah Putih Berkibar di Komplek Istana Negara IKN, Kalimantan. (Dok: Instagram/@prabowo)

Imbasnya, rata-rata rasio utang bersih terhadap ekuitas atau net debt to equity ratio (DER) BUMN karya lompat dari semula hanya di kisaran 0,7 kali di 2017 menjadi 2,2 kali di kuartal dua tahun ini.

Jika diperinci lebih lanjut, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) memiliki DER paling besar, yakni 6,3 kali, disusul oleh PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) yang sebesar 1,8 kali.

PT PP Tbk (PTPP) dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI) memiliki DER masing-masing sebesar 0,8 kali.

Sekarang, isu bergeser ke proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). 

"Keputusan Kementerian BUMN untuk mengkonsolidasi perusahaan konstruksi dapat menjadi tanda bahwa mereka pada akhirnya perlu meningkatkan [kembali] leverage mereka menggunakan neraca yang lebih besar untuk mendanai IKN."

Kelompok lain yang memiliki kapasitas untuk mendukung IKN adalah bank-bank BUMN, seperti pada tahun 2014-2019 di mana mereka meningkatkan pinjaman untuk memfasilitasi program infrastruktur.

Namun, ketidakmampuan membayar dan keterlambatan proyek menyebabkan memburuknya kualitas aset dan meningkatnya kredit bermasalah, yang pada akhirnya memberatkan laba bank.

Sejak saat itu, bank BUMN menghindari sektor konstruksi dan fokus pada kualitas kredit di segmen konsumen dan korporasi. Namun dengan kebutuhan anggaran BUMN sebesar Rp123 triliun, tidak menutup kemungkinan pada akhirnya mereka perlu menyalurkan pinjaman untuk proyek infrastruktur lagi.

Beda Kondisi Makro

Founder Stocknow.id Hendra Wardana menjelaskan, perbandingan kinerja IHSG pada era pemerintahan Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Joko Widodo (Jokowi) menggambarkan bagaimana dinamika ekonomi makro, kebijakan fiskal, dan sentimen pasar berdampak pada pasar modal. 

Data menunjukkan bahwa IHSG mengalami kenaikan tertinggi di era SBY dengan pertumbuhan sekitar 499,5%, diikuti oleh Megawati dengan 78,8%, dan kemudian Jokowi dengan 49,2%.

Di era SBY, kenaikan yang signifikan tersebut sebagian besar didorong oleh commodity boom yang terjadi pada medio 2000, dimana harga komoditas seperti batubara, kelapa sawit, dan karet meningkat tajam. 

Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak sumber daya alam, mendapat keuntungan besar dari kenaikan harga komoditas ini, yang mendorong kinerja perusahaan-perusahaan berbasis komoditas, seperti sektor energi dan agribisnis. 

Selain itu, sektor konsumsi dan old economy seperti industri rokok (HMSP, GGRM) dan barang konsumsi (UNVR) juga mengalami performa yang kuat.

Sementara itu, di era Jokowi, tantangan yang dihadapi lebih beragam. 

Pertama, tidak ada commodity supercycle seperti yang terjadi di era SBY, sehingga dampak positif dari sektor komoditas tidak terlalu signifikan. Kedua, Jokowi berfokus pada pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari agenda investasi jangka panjang. 

"Namun, dampak dari investasi infrastruktur biasanya memiliki multiplier effect yang baru terasa dalam jangka panjang, lima hingga sepuluh tahun ke depan," jelas Hendra. 

Di samping itu, era Jokowi juga dipenuhi oleh ketidakpastian global yang lebih besar, mulai dari krisis Yunani, devaluasi Yuan, perang dagang AS-China, hingga pandemi Covid-19 yang memperlebar defisit fiskal dan menekan perekonomian.

Suku bunga yang lebih tinggi selama pemerintahan Jokowi juga berdampak pada sentimen pasar, di mana investor lebih memilih aset dengan imbal hasil tetap (fixed income) dibandingkan ekuitas, apalagi dengan pemotongan pajak final untuk kupon obligasi yang semakin menarik bagi investor. 

Ditambah lagi, tema ekonomi yang diusung oleh Jokowi lebih mengarah pada new economy, seperti energi terbarukan dan teknologi. Namun, sayangnya, sektor-sektor tersebut belum memberikan kontribusi maksimal di pasar modal Indonesia, dan banyak dana yang keluar dari Indonesia ke pasar saham teknologi di AS, seperti Alphabet, Meta, dan Nvidia, yang memberikan imbal hasil yang lebih menarik bagi investor global.

Selain itu, saham-saham penggerak IHSG di era Jokowi relatif stagnan. Saham-saham dari sektor old economy seperti ASII, INDF, UNVR, dan TLKM mengalami keterbatasan dalam kenaikan harga, sehingga hanya sektor perbankan yang menunjukkan performa positif. 

Tanpa adanya sektor teknologi atau growth stock yang dapat mendorong pasar lebih jauh, IHSG pun tertahan dalam kenaikannya. 

Jadi, meskipun Jokowi gencar menggalang investasi, terutama di infrastruktur, dampak dari kebijakan ini belum tercermin secara penuh di IHSG karena karakteristik investasi jangka panjang, ketidakpastian global, serta minimnya pendorong pertumbuhan dari sektor teknologi.

(ibn/dhf)

No more pages