Langkah BI yang terbaca dari lelang SRBI terakhir memperlihatkan bank sentral bergegas defensif menghadapi ketidakpastian pasar global yang meningkat beberapa waktu terakhir dan sempat melambungkan lagi tingkat imbal hasil investasi AS. Yield Treasury, surat utang AS, tenor 2Y sempat menyentuh 4% dan tenor acuan 10Y kini konsisten sedikit di atas 4%.
Stabilitas nilai tukar menjadi fokus BI karena arus jual di SRBI yang terlalu besar akan berdampak pada pelemahan rupiah. Sampai data 14 Oktober, BI telah menjual SRBI sebesar Rp934,87 triliun di mana posisi asing di instrumen penampung 'hot money' atau dana asing jangka pendek, mencapai Rp254,57 triliun. Angka itu setara 27,23% dari outstanding SRBI di pasar sekunder saat ini.
Sedangkan posisi asing di Sekuritas Valas (SVBI) dan Sukuk Valas (SUVBI) masing-masing tercatat sebesar US$3,38 miliar dan US$424 juta pada periode yang sama. "Penerbitan SRBI telah mendukung upaya peningkatan aliran masuk portofolio asing ke dalam negeri dan penguatan nilai tukar rupiah," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam taklimat media pengumuman BI rate, Rabu lalu.
Data Bank Indonesia yang mencatat setelmen transaksi hampir sepekan ini, yaitu periode 14-17 Oktober, memperlihatkan pemodal asing telah menjual SRBI senilai Rp5,31 triliun. Pada saat yang sama, asing mencatat posisi net buy Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp3,3 triliun dan saham Rp930 miliar.
Kepastian kabinet
BI terlihat bergegas memitigasi ketidakpastian global yang makin tajam supaya tidak membenamkan rupiah dalam pelemahan yang terlalu tajam, seperti terindikasi dari pergerakan asing di pasar SRBI. Itu berkelindan dengan keputusan BI menahan bunga acuan bulan ini setelah pada September menurunkan.
"Fokus jangka pendek adalah pada stabilitas nilai tukar karena meningkatnya ketidakpastian pasar global terkait ketegangan geopolitik Timur Tengah,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Jumat.
Ketidakpastian pasar yang meningkat lagi telah menaikkan pamor indeks dolar AS dan membayangi nilai tukar rupiah. Namun, pekan ini rupiah masih 'terselamatkan' oleh kepastian isi kabinet Presiden terpilih Prabowo Subianto yang dijadwalkan akan dilantik hari Ahad esok.
Sepanjang pekan ini, rupiah spot membukukan penguatan mingguan 0,74% dan ditutup di level Rp15.465/US$ pada perdagangan Jumat kemarin. Sementara rupiah JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate) atau kurs tengah Bank Indonesia, bahkan membukukan penguatan mingguan lebih besar, hingga 0,91% ke level Rp15.466/US$.
Penguatan rupiah pekan ini istimewa karena terjadi di tengah indeks dolar AS yang bergerak perkasa juga, dengan kenaikan 0,6% ke level 103,49.
Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan the greenback terhadap enam mata uang utama dunia, kembali bangkit menyusul ketegangan yang tajam di Timur Tengah. Dolar AS juga makin perkasa ketika berbagai data terbaru menunjukkan ketangguhan perekonomian terbesar di dunia itu. Selain, menyusul makin dekat jadwal Pemilu AS bulan depan, pasar terlihat menaikkan taruhan akan kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS kelak. Kebijakan Trump yang berniat mengerek berbagai tarif potensial membuat dolar AS makin kuat.
Namun, rupiah berhasil bertahan, mengungguli mata uang Asia lain yang mayoritas melemah. Pekan lalu, selain rupiah, hanya ada dua mata uang Asia lain yang mampu menguat terhadap dolar AS, yakni baht yang naik 0,54%, lalu dolar Taiwan 0,36%.
Rupiah membukukan kinerja tangguh pekan ini terutama karena dua faktor domestik. Pertama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dipastikan kembali masuk ke kabinet pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan dilantik esok hari.
Prabowo telah memanggil sekitar 108 tokoh yang digadang menjadi menteri di kabinet nanti, termasuk SMI, demikian akronim populer Sri Mulyani.
SMI kepada para jurnalis pada Senin lalu mengatakan telah diminta oleh Prabowo untuk kembali menjadi menteri keuangan. "Saat pembentukan kabinet, beliau meminta saya untuk kembali menjadi Menkeu lagi," ujar Sri Mulyani.
Kepastian itu melegakan pasar yang selama ini diliputi kecemasan terkait arah kebijakan fiskal pemerintahan baru dengan sejumlah program populis yang membutuhkan biaya sangat besar.
"SMI dikenal sebagai sosok bertangan dingin dalam mengonsolidasikan fiskal, seorang ahli keuangan yang cerdas yang tahu cara menurunkan premi risiko bagi Indonesia. SMI pada dasarnya telah menurunkan premi risiko rupiah," kata Vishnu Varathan, Head of Economic and Strategy Mizuho di Singapura.
Pada momen transisi, kepemimpinan SMI menurutnya bisa meringankan beberapa kekhawatiran terkait risiko fiskal Indonesia ke depan.
-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.
(rui)