Logo Bloomberg Technoz

Lana memprediksi jika pemilu berlangsung lancar, rupiah akan berada di kisaran Rp 10.800/US$ pada akhir 2014. Pemilu, menurut Lana, akan membuat dana asing kembali masuk ke saham dan obligasi.

Namun, Indonesia adalah bagian dari ekonomi global. Apa yang terjadi si luar sana tidak bisa dihindari, dan pasti berdampak buat Indonesia.

Pada 2015, ekonomi dunia diliputi ketidakpastian. Penyebabnya adalah apa yang disebut dengan taper tantrum.

Bank sentral AS Federal Reserve berulang kali memberikan ‘kode’ bahwa akan segera menaikkan suku bunga acuan setelah bertahun-tahun berada di level rendah akibat krisis ekonomi 2008-2009. Namun kenaikan itu baru terjadi pada akhir 2015.

Akibatnya, sepanjang tahun pasar diliputi kegamangan. AS jadi atau tidak menaikkan suku bunga acuan, kapan dinaikkan, dan seberapa besar kenaikannya menjadi pertanyaan besar yang baru terjawab pada akhir tahun.

Perkembangan ini membuat investor memilih aset yang dipandang aman alias safe haven, dalam hal ini dolar AS. Sikap flight to quality tersebut membuat aset-aset berbasis rupiah diterpa aksi jual, yang pada akhirnya memukul mata uang Ibu Pertiwi.

Sepanjang 2015, rupiah membukukan pelemahan 10,9%. Rupiah jadi mata uang terlemah kedua di ASEAN, hanya kalah lemah dari ringgit (-22,7%).

Namun pada 2016, praktis efek taper tantrum sudah selesai. Investor kembali memburu aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Sepanjang 2016, rupiah mampu membukukan penguatan 2,28%.

Kemudian pada 2017, rupiah kembali membukukan pelemahan. Namun depresiasinya tipis saja yakni 0,6%.

Depresiasi rupiah terjadi saat Bank Indonesia (BI) melakukan normalisasi kebijakan moneter. Sepanjang 2017, BI menurunkan suku bunga acuan 50 basis poin (bps) dari 4,75% menjadi 4,25%. Akibatnya, daya tarik berinvestasi di Indonesia ikut turun sehingga mempengaruhi nilai tukar rupiah.

Lalu pada 2018, rupiah kembali melemah. Kali ini depresiasinya lumayan dalam yaitu hampir 7%.

Sentimen global memang tidak mendukung penguatan rupiah. Kala itu, perang dagang AS-China sedang panas-panasnya. Kedua negara saling menaikkan bea masuk bagi impor produk negara pesaing. Namun karena AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di dunia, apapun yang terjadi di sana tentu akan sangat mempengaruhi pasar.

Sentimen kedua adalah kenaikan Federal Funds Rate. Sepanjang 2018, suku bunga acuan Negeri Adidaya melonjak 100 bps.

Dua faktor utama tersebut membuat investor enggan bermain di aset-aset berisiko, apalagi di negara berkembang. Perilaku cari aman tersebut membuat pasar keuangan Indonesia ditinggalkan dan rupiah melemah cukup tajam.

Kemudian pada 2019, rupiah berbalik menguat, Sepanjang tahun tersebut, rupiah terapresiasi 2,68%.

Ekonomi global yang mulai tenang membuat arus modal kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia. BI mencatat,arus modal asing yang masuk ke Indonesia sepanjang 2019 mencapai Rp 224,2 triliun.

Malangnya, dunia dilanda malapetaka setahun setelahnya. Pada 2020, pandemi Covid-19 menerkam dan membuat ekonomi dunia ‘mati suri’.

Sepanjang 2020, rupiah membukukan depresiasi 1,99%. Tidak hanya rupiah, hampir seluruh mata uang dunia juga melemah saat pandemi menghantui.

Pada 2021, rupiah mencatat depresiasi 2,65%. Masih adanya berbagai pembatasan akibat pandemi Covid-19 membuat ekonomi sulit berputar. Apalagi Indonesia kemudian menetapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada pertengahan tahun.

Lalu pada 2022, rupiah kembali melemah. Bahkan pelemahannya lebih dalam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu mencapai 9,31%.

Penyebab pelemahan rupiah adalah tekanan inflasi. Usai pandemi, harga komoditas ‘beterbangan’ karena peningkatan permintaan.

Saat inflasi naik, suku bunga pun demikian. Di AS, The Fed mengerek suku bunga sampai 425 bps sepanjang 2022, sebagai senjata untuk memerangi tekanan inflasi.

Saat suku bunga di AS begitu tinggi, maka sulit bagi pasar keuangan negara berkembang untuk mendapatkan ‘jatah’. Minimnya arus modal asing membuat rupiah harus puas menempati zona merah.

Pada 2023, rupiah pun sukses membalas dendam. Tahun lalu, rupiah mampu membukukan penguatan 1,12%.

Ekonomi global yang mulai stabil membuat arus modal asing kembali masuk ke Indonesia. Sepanjang 2024, terjadi beli bersih (net buy) Rp 80,45 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 52,81 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Kinerja Rupiah Meleset dari Target Pemerintah

Ekonom INDEF Abdul Manap Pulungan menilai depresiasi rupiah terjadi cukup dalam selama 10 tahun terakhir. Jika dianalisis, kinerja rupiah hanya empat tahun mencapai target pemerintah, yakni pada 2016, 2019, 2020, dan 2021. Sisanya selalu meleset dati target. 

Menurut dia, ada beberapa faktor penyebab kinerja rupiah belum mumpuni. Pertama, pasar keuangan valas sangat dangkal, sehingga ketika terjadi shock, investor tidak bisa berpindah dari satu instrumen ke instrumen lain.

"BI hanya punya term deposit valas, terus mereka pindah ke instrumen mungkin SBN (surat berharga negara), itupun SBN global jarang diterbitkan," kata Abdul.

Dia menjelaskan, dengan kondisi pasar keuangan yang dangkal, investor lebih memilih menanamkan modal di Singapura yang memiliki transaksi harian mencapai 1 triliun, berbanding Indonesia yang hanya 5 miliar per hari.

"Taruh dana di Singapura cepat dapat untungnya selama pintar taruh investasinya," ujar dia.

Kedua, cadangan devisa Indonesia minim, karena sebagian besar hasil devisa ditaruh di negara lain, terutama Singapura.

"Jadi saat intervensi terjadi, BI akan berhati-hati karena takut habis dolarnya. Karena hati hati melakukan intervensi, BI harus menjaga kecukupan devisa untuk pembayaran utang pemerintah dan pembayaran impor industri," papar dia. 

Ketiga, perhitungan cadangan devisa hanya menyertakan utang pemerintah dan impor, belum menghitung utang swasta. Padahal swasta lebih besar dibanding pemerintah.

"Ketika tidak dihitung, mereka akan cari di pasar. Itu Pertamina kan besar untuk impor bahan BBM, sehingga menyebabkan depresiasi rupiah terjadi," ungkap dia. 

Terkait kinerja rupiah pada 2024, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memang menguat dalam dua bulan terakhir. Namun dalam satu tahun ini, rupiah terdepresiasi. 

Faktanya dalam 1 tahun terakhir, rupiah tak hanya melemah terhadap dolar AS, tetapi juga melemah terhadap 68,4% mata uang dunia. Bahkan melemah terhadap mata uang utama di kawasan seperti dolar Singapura (4,97%), thai Bath (6,12%), peso Filipina (1,91%), dan ringgit Malaysia (8,56%).

Menurut dia, dua faktor utama berupa harga komoditas yang mulai meningkat serta peran SRBI dan SBN yang menjadi magnet bagi devisa Indonesia merupakan faktor yang tidak sustainable dalam menjaga rupiah. 

"Risikonya adalah ada potensi rupiah tertekan dalam beberapa waktu mendatang," kata dia. 

Maka itu, pemerintah perlu menjalankan beberapa upaya untuk memperkuat rupiah. Pertama, menjaga iklim investasi membaik, sehingga kucuran devisa mengalir lewat investasi, baik FDI maupun portofolio, khususnya pasar modal. Kedua, kondisi fiskal harus berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan terhadap utang.

Ketiga, perbaikan regulasi terkait devisa, sehingga devisa hasil ekspor (DHE) hasil sumber daya alam (SDA) semakin banyak dan semakin lama berada di Indonesia.

"DHE ini adalah sumber devisa yang murah, perlu didorong untuk menggantikan peran SRBI dan SBN sebagai sumber devisa yang sangat mahal," tutur dia. 

(lav)

No more pages