Selain mendorong perusahaan IPO, lanjut Iman, otoritasnya juga perlu menyiapkan calon pembeli saham perusahaan tersebut, bekerja sama dengan sejumlah fund manager hingga lembaga keuangan.
"Yang mau belinya siapa, juga kita bantu siapkan, seperti dana pensiun [Dapen], asuransi, BPJS Ketenagakerjaan, ini kan juga perlu bantuan," ujar Iman.
Di sisi lain, Iman juga mengungkapkan bahwa persiapan perusahaan BUMN untuk melantai di bursa yang berbeda dengan perusahaan swasta lainnya, yang dinilai memiliki mekanisme persiapan waktu lebih lama.
"Saya nggak tahu alasan Kementerian BUMN [menunda IPO DI 2024], mungkin karena terutama persiapan BUMN kan nggak sama dengan swasta, perlu waktu dan sebagainya, perlu orang-orang. Kalau owner kan mau besok IPO ya IPO aja gitu, cepat."
Adapun hingga saat ini, terdapat sebanyak 14 perusahaan BUMN dan 23 anak usahanya yang telah melantai di BEI, dengan sebagian masuk dalam kelompok indeks LQ45 atau saham-saham pilihan dengan likuiditas tinggi.
Kontribusi 6 emiten berstatus plat merah tersebut, lanjut Iman, mampu menjadi bagian dan berkontribusi sebanyak 60% dari rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) bersama dengan 14 perusahaan big caps swasta lainnya.
"Ini sangat cukup signifikan," ujar Iman. "Investor kita yang jumlahnya hari ini sekitar 14 juta, sebagian besar melakukan investasi kepada BUMN. Jadi keberlanjutan itu ya program pemerintah terhadap perusahaan terbuka yang BUMN sangat kita nantikan."
(ibn/dhf)