Selain itu, Wijayanto juga menyoroti masalah proteksionisme dan penggunaan subsidi oleh negara-negara maju yang bisa mendistorsi pasar. Akibat subsidi yang diberikan oleh negara-negara maju tersebut sering kali membuat produk dari negara berkembang menjadi kurang kompetitif di pasar global.
Menurutnya, sekitar 30% hambatan perdagangan di sektor pertanian saat ini bersumber dari hambatan nontarif yang diberlakukan oleh negara-negara maju.
Hambatan-hambatan ini termasuk persyaratan seperti label produk hasil rekayasa genetik (GM labeling), batas harga minimum, standar halal, hingga isu-isu lingkungan seperti deforestasi dan keberlanjutan.
Sebagai contoh, dia menekankan adanya regulasi Uni Eropa mengenai deforestasi (EUDR) yang berdampak negatif pada beberapa komoditas ekspor utama Indonesia, seperti minyak kelapa sawit, kopi, kakao, kayu, dan produk lainnya.
"Selain itu juga berkait dengan sustainable agriculture yang menjadi tantangan bagi negara-negara berkembang untuk memperoleh dalam hal sertifikasinya yang tentunya menambah beban biaya bagi para pelaku usaha pertanian kita," terangnya.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Fajarini Puntodewi mencatat kinerja neraca perdagangan produk pertanian Indonesia selama 5 tahun terakhir terus mengalami defisit, bahkan mencapai US$3,81 miliar (sekitar Rp59,01 triliun) pada periode Januari hingga Juli tahun ini.
"Pada tahun ini periode Januari—Juli [2024], defisitnya mencapai US$3,81 miliar. Jadi tentu ini merupakan satu PR, PR bersama," kata Fajarini.
Di satu sisi, sektor pertanian menyumbang 13,78% secara anual terhadap perekonomian nasional, menjadikannya kontributor terbesar kedua dengan pertumbuhan sebesar 3,25% secara tahunan.
"Sehingga tentunya ini merupakan angka yang positif ya, kita tentu optimistis bahwa sektor pertanian ini bisa menjadi andalan Indonesia. Baik untuk itu tadi ya, menumbuhkan pertumbuhan ekonomi nasional, dan yang penting juga meningkatkan devisa kita."
(prc/wdh)