Selain itu, Bahlil juga menyoroti dampak positif terhadap pendapatan masyarakat di sekitar lingkar tambang, terlebih bagi mereka yang membangun indekos dan usaha makanan bagi pekerja. Menurut Bahlil, mereka bisa menghasilkan antara Rp30 juta hingga Rp150 juta per bulan, meskipun bukan karyawan smelter.
Sebar Penyakit ISPA
Namun, di balik keberhasilan ekonomi tersebut, Bahlil tidak memungkiri adanya berbagai dampak negatif kebijakan hilirisasi terhadap kesehatan masyarakat.
Dia mengungkapkan, di Morowali, sebanyak 54% penduduk terkena penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), bahkan dengan kondisi lingkungan yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan Halmahera Tengah, tempat industri hilirisasi Weda Bay.
"Kenapa di Morowali seperti ini? Karena ini adalah barang baru [uji coba pertama]. Kita bicara hilirisasi, tetapi enggak ada yang berani melakukan."
"Memulai dengan kekurangan lebih baik dibandingkan dengan tidak memulai sama sekali. Maka kita akan lakukan perbaikan," jelas Bahlil.
Alokasi DBH Jomplang
Dalam disertasinya tersebut, Bahlil juga menyoroti isu ketimpangan alokasi dana bagi hasil (DBH) di kawasan industri terhadap produk hilirisasi. Untuk diketahui, DBH sendiri diatur oleh Kementerian Keuangan yang dibawahi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dia mengungkapkan, dari total pendapatan sebesar Rp12,5 triliun di Halmahera Tengah, pemerintah pusat hanya mengalokasikan sekitar Rp1,1 triliun untuk kabupaten dan Rp900 miliar untuk provinsi.
"Sementara itu, beban tanggung jawab mereka luar biasa, kesehatan, lingkungan, jalan dan sampah luar biasa sekali dan menurut saya, masak total pendapatan DBH, hanya 1/6 yang dikembalikan ke daerah. Itu mengapa banyak orang daerah berteriak," jelasnya.
Dengan demikian, dalam kajian akademik yang dilakukannya, Bahlil turut mengusulkan agar porsi pembagian DBH produk ekspor hilirisasi ditetapkan minimal 30%—45% kepada masyarakat.
"Kami ingin penerimaan negara harus dibagikan ke daerah, harus dibagi DBH oil and gas dan hilirisasi," tuturnya.
(prc/wdh)