Menteri Luar Negeri Lithuania Gabrielius Landsbergis mengutip komentar Lu dalam sebuah tweet akhirnya menilai terbukti mengapa negara-negara Baltik selama ini tidak mempercayai Tiongkok untuk menengahi perdamaian di Ukraina. Estonia dan Latvia, negara-negara yang juga menderita selama beberapa dekade di bawah pemerintahan Uni Soviet yang kejam bahkan memanggil para diplomat Tiongkok di negara mereka untuk mendapatkan penjelasan.
"Pernyataan Lu dan reaksi keras yang dipicu di seluruh Eropa merupakan sebuah gol bunuh diri," kata profesor Ilmu Politik di National University of Singapore, Ja Ian Chong.
"Insiden ini menunjukkan ketegangan dalam kebijakan luar negeri Tiongkok," kata Chong lagi.
Padahal selama ini China ingin dipandang sebagai negara yang terbuka dan tegas.
Bagi Xi, pernyataan yang keliru tersebut satu kemunduran baru saat ia berusaha memperbaiki citra China di panggung global setelah tiga tahun terisolasi setelah merebaknya wabah Covid-19.
Pada Maret, tak lama setelah Xi meluncurkan cetak biru yang terkait perdamaian di Ukraina dan bertemu dengan Putin di Moskow, pemerintahnya sempat menengahi kesepakatan untuk Iran-Arab Saudi untuk memulihkan hubungan diplomatik. Hal ini berkontribusi memberikan kredibilitas pada peran Beijing sebagai pemerintah yang dapat memediasi konflik yang jauh di luar negaranya.
Kemudian Xi menjamu para pemimpin Prancis dan Brasil yang keduanya lalu membuat komentar yang membuat AS kesal. Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menyerukan hubungan ekonomi yang lebih erat dengan China dan berkurangnya peran dolar dalam perdagangan. Sementara Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa Eropa harus menempa jalurnya sendiri tanpa bergantung pada AS.
Namun menyusul komentar Lu, Macron menegaskan kembali solidaritasnya dengan negara-negara yang bersangkutan yakni eks Soviet. Ketua Komisi Luar Negeri Uni Eropa Eropa Josep Borrell juga menyebut komentar tersebut tidak dapat diterima.
China karena itu harus memasuki babak baru menyeimbangkan diplomasi yang lebih tegas dengan perlunya melakukan pendekatan soft terutama karena reputasi negara tersebut telah jatuh. Jajak pendapat Pew Research Center tahun lalu menemukan bahwa empat per lima responden di AS, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Swedia memiliki opini yang negatif terhadap Tiongkok.
Meskipun Tiongkok tampaknya menyadari masalah ini dan berusaha untuk bersikap lebih baik namun kondisi belum kembali stabil. Lu telah menciptakan kontroversi masa lalu dan bahkan menuduh Kanada melakukan supremasi kulit putih terkait penahanan eksekutif Huawei Technologies Co.
Pada saat yang sama kondisi ini juga mempengaruhi hubungan china dengan Global South sebutan untuk negara-ngeara berkembang di wilayah Asia, Afrik, Timur Tengah dan Amerika Latin.
Diketahui tahun lalu, China memulai pembicaraan mengenai ekspansi BRICS ketika menjadi pemimpin blok ini. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk menghadirkan sebuah alternatif penyeimbang dominasi AS. Sejak saat itu, 19 negara menyatakan ketertarikan mereka untuk bergabung sebelum blok ini mengadakan pertemuan tahunan di Afrika Selatan pada bulan Juni, kata Anil Sooklal, duta besar Afrika Selatan untuk BRICS.
Namun insiden ini diprediksi dapat mereda dengan cepat di beberapa negara kecil di Eropa, kata seorang peneliti di Asia Society Policy Institute's Center for China Analysis, Neil Thomas.
"Banyak pemimpin Eropa kemungkinan akan menerima komentar Beijing atas komentar Duta Besar Lu demi mengejar kepentingan ekonomi dan diplomatik mereka dengan Tiongkok, terutama negara-negara Uni Eropa yang lebih kecil dan lebih miskin yang secara khusus menghargai pertukaran komersial dengan negara tersebut," katanya.
Terlepas dari pernyataan Dubes Lu Shaye, reaksi di Beijing malah menyalahkan media. Dalam sebuah konferensi pers pada hari Senin, juru bicara Kementerian Luar Negeri Mao Ning menyalahkan media yang dianggap mencoba memperuncing masalah.
Pernyataan Lu juga menjadi bahan pembicaraan di media sosial. Beberapa di antaranya mengaitkan masalah ini dengan Taiwan. China baru-baru ini membuat argumen bahwa mengambil alih Taiwan tidak akan melanggar hukum internasional karena pulau ini tidak diakui sebagai sebuah negara.
"Yang punya kekuatan yang bisa membuat hukum di internasional," tulis seorang pengguna media sosial China pada sebuah unggahan tentang komentar Lu. "Bukankah politisi Barat yang paling banyak mengeluarkan omong kosong tentang Taiwan?"
Asistensi dari Jing Li dan Colum Murphy
(bbn)