Bloomberg Technoz, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyatakan masih mengandalkan operasi moneter triple intervention atau intervensi di pasar spot, pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian surat berharga negara (SBN) dari pasar sekunder untuk mengarahkan rupiah ke nilai fundamentalnya.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyatakan hal tersebut akan dilakukan merespons pergerakan rupiah yang akhir-akhir ini mengalami depresiasi akibat pengaruh konflik geopolitik, padahal sempat mengalami apresiasi hingga menyentuh level Rp15.100/US$.
“Ini yang menyebabkan BI selalu ada di pasar, dalam hal ini BI akan terus jaga stabilitas rupiah dan setidaknya mengarahkan rupiah ke arah fundamentalnya,” tutur Destry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur Oktober 2024, Rabu (16/10/2024).
Selain itu, Destry menyatakan BI akan terus memperkaya instrumen keuangan yang dimiliki RI, pasalnya operasi moneter yang dilakukan saat ini diarahkan ‘pro market’.
Hingga 14 Oktober 2024, posisi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI masing-masing tercatat sebesar Rp934,87 triliun, US$3,38 miliar, dan US$424 juta..
“Di mana Rp255 triliun ada [kepemilikan nonresiden] asing. itu inflow dolar masuk,” tutur Destry.
Dalam kaitan penguatan nilai tukar rupiah, Destry juga akan mengandalkan local currency transaction (LCT) atau penggunaan mata uang domestik dalam transaksi dengan negara lain.
Ia menyebut, saat ini RI telah menyepakati kerja sama mekanisme LCT dengan empat negara dan tengah mengupayakan kesepakatan baru dengan Korea Selatan hingga India.
“Hal yang menarik dari LCT ini membuat diverifikasi dari perdagangan internasional, investasi, tidak semua dalam bentuk dolar tapi dalam mata uang lokal,” ucapnya.
Berdasarkan data per September, kinerja LCT tumbuh 103% (year on year/yoy) menjadi US$1,3 miliar. Sementara pada periode Januari-September 2024 tumbuh 57% dari periode yang sama tahun lalu mencapai US$7,1 miliar.
Lebih lanjut, ia menyebut China tercatat sebagai negara yang mendominasi penggunaan LCT dengan Indonesia, dengan total transaksi mencapai 53% dari keseluruhan transaksi LCT.
“Dari jumlah pelakunya terus mengalami peningkatan sekarang sudah 6120 pelaku, kita melihat dengan ekonomi Tiongkok normalisasi transaksi Tiongkok dengan kita menggunakan LCT terus mengalami peningkatan,” tutup Destry.
(azr/lav)