Logo Bloomberg Technoz

Ekspor produk alas kaki serta berbagai produk kimia, hingga kendaraan (otomotif) juga masih terkontraksi. Hanya ekspor nikel, emas logam mulia, juga besi dan baja yang masih positif bulan lalu.

Kelesuan ekspor tidak bisa dilepaskan dari permintaan dari negara mitra dagang utama yang sepi.

Penurunan penjualan barang ekspor terdalam dicatat untuk tujuan Korea Selatan (-25,7%), lalu Amerika Serikat (-15%), Thailand (-13,98%), kemudian Jepang (-13,94%), Jerman (-13,52%), juga India (12,77%) dan Australia (-10,59%). 

Kinerja ekspor yang melempem pada September memang sulit dilepaskan dari kelesuan permintaan negara tujuan ekspor. Masih adanya gelombang restriksi perdagangan sedikitnya di 19 negara saat ini, membuat volume perdagangan global mengecil. Indonesia terkena imbas tren buruk itu.

Pada saat yang sama, ada ancaman banjir produk impor, terutama dari China, sejalan dengan terjadinya overproduksi di negeri itu yang kemudian membanjiri pasar di banyak negara dengan harga murah. "Kita sebagai negara dengan pasar yang besar, jumlah penduduk terbesar keempat di dunia sebanyak 280 juta jiwa harus mampu melindungi pasar domestik kita," kata Presiden Joko Widodo di Tangerang, pekan lalu.

Permintaan domestik lesu

Ketika kinerja ekspor lesu, kinerja impor ternyata lebih lesu lagi. Laju impor pada September, anjlok hingga 8,91% dibanding Agustus. Penurunan impor pada bulan lalu disumbang terutama oleh anjloknya impor barang nonmigas hingga 9,55%, ketika impor migas tergerus 4,53%.

Secara tahunan, kinerja impor secara keseluruhan melambat jadi naik 8,55% dibandingkan 9,46% pada Agustus. Impor migas anjlok paling tajam hingga 24,04% year-on-year, sedangkan impor nomigas masih naik 16,29%.

Berdasarkan golongan penggunaan barang, impor bahan baku/penolong menjadi yang paling anjlok dengan penurunan hingga 9,7% pada bulan lalu. Padahal impor kelompok barang ini berkontribusi hingga 73% dari total impor RI sepanjang sembilan bulan tahun ini.

Kelesuan impor di segmen bahan baku/penolong itu mengindikasikan dunia usaha memang tengah menghadapi kelesuan. Data itu sejalan dengan kontraksi aktivitas manufaktur yang sudah berjalan tiga bulan terakhir. 

"Kondisi operasional manufaktur masih menurun pada September, tercermin dari penurunan produksi dan pemesanan baru (new orders).  Inventori di gudang dan barang jadi meningkat. Sementara pelaku industri menurunkan pembelian bahan baku," kata laporan S&P awal bulan ini.

Kelesuan ekspor tidak terlepas dari tren restriksi dagang yang menurunkan volume perdagangan di pasar global (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Kelesuan pasar ekspor dan domestik pada akhirnya mendorong pengusaha menurunkan pembelian bahan baku, sudah berlangsung tiga bulan beruntun. Pelaku usaha memilih menggunakan barang yang sudah ada.

Bukan cuma itu, impor barang konsumsi juga turun pada September sebesar -6,37%. Meski secara tahunan masih tumbuh 11,3%. Penurunan impor barang konsumsi juga bisa memberi sinyal pelemahan permintaan domestik. Itu yang terlihat bila menilik jenis komoditasnya.

Yang mencatat penurunan impor antara lain, komoditas serealia yang anjlok hingga -18,63% mom dan -14,17% yoy. Serealia termasuk di dalamnya adalah beras. Begitu juga impor komoditas logam mulia dan perhiasan/permata yang turun -23,1% bulan lalu. Permintaan kendaraan dan suku cadang impor juga turun sampai 12,11%.

Kelesuan impor bahan baku juga barang konsumsi menambah panjang sinyalemen tekanan permintaan dalam perekonomian domestik.

Defisit transaksi berjalan

Kinerja impor yang lebih tajam penurunannya ketimbang penurunan impor, pada akhirnya membawa nilai surplus neraca dagang RI pada bulan lalu ke level tertinggi sejak Maret, yakni sebesar US$3,25 miliar, naik dibanding bulan sebelumnya US$2,77 miliar dan di luar dugaan pasar.

Menurut ekonom, walau terjadi kenaikan nilai surplus pada September, secara kuartalan nilai keseluruhan surplus neraca dagang Indonesia diperkirakan menyusut jadi US$6,53 miliar pada kuartal III-2024, anjlok tajam dibanding posisi surplus kuartal II-2024 sebesar US$8,04 miliar.

"Angka itu menyiratkan pelebaran defisit transaksi berjalan menjadi US$4,25 miliar atau -1,1% dari Produk Domestik Bruto pada kuartal III, lebih lebar dibanding kuartal sebelumnya -0,88% dari PDB," kata Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Priyadi dalam catatannya siang ini.

Perhitungan analis, defisit transaksi 12 bulan (TTM) pada kuartal III-2024 kemungkinan melebar hingga -0,76% terhadap PDB dari posisi sebelumnya -0,58%. Alhasil, secara keseluruhan tahun ini, defisit transaksi berjalan RI akan mencapai -0,90% dari PDB.

Nilai defisit transaksi berjalan yang besar menjadi kabar buruk bagi rupiah. Tanpa perbaikan kinerja ekspor yang bisa mengalirkan lebih banyak lagi pasokan dolar AS ke sistem ekonomi domestik, rupiah akan lebih banyak bergantung pada hilir mudik dana asing di pasar portofolio yang cenderung lebih volatile dan jangka pendek saja. Pada kuartal IV, asing telah membukukan posisi net outflows senilai US$424,3 juta.

Dengan perkembangan perdagangan terakhir, peluang bagi Bank Indonesia memangkas bunga acuan pada Rabu esok, makin mengecil. Rupiah masih terlalu rentan dan BI kemungkinan akan fokus menjaga selisih imbal hasil investasi agar dana asing masih masuk sehingga memberi dukungan pada nilai tukar.

Pada sesi perdagangan siang pasca laporan perdagangan dilansir, rupiah spot melemah ke level Rp15.578/US$, turun 0,12% nilainya dibanding hari sebelumnya.

-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.

(rui/roy)

No more pages