Selama ini, pemerintah selalu menekankan, rasio utang pemerintah masih aman karena angkanya di bawah 60% dari PDB, sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Per akhir Agustus, rasio utang terhadap PDB mencapai 38,49%, atau sebesar Rp8.461,93 triliun.
Akan tetapi, batas aman itu sebenarnya tidak cukup aman bila utang perusahaan-perusahaan pelat merah alias BUMN juga dihitung.
BUMN sebagai perusahaan milik negara, selama ini bila terjadi ancaman gagal bayar atau bangkrut, pemerintah seringkali tidak memiliki pilihan selain turun tangan menyelamatkan (bailout) ataupun menyuntik modal tambahan yang biasanya diambil dari anggaran negara yang dibiayai oleh pajak masyarakat.
Itu yang sudah terlihat dari kasus seputar BUMN sektor karya yang menghadapi skandal utang luar biasa besar seperti PT Waskita Karya Tbk (WSKT), juga PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan BUMN karya lain. Beberapa bank BUMN muncul sebagai pemberi pinjaman utama BUMN-BUMN infrastruktur itu.
Lonjakan utang sektor publik itu perlu dicermati terutama ketika pemerintahan Prabowo berniat mengerek batas rasio utang demi membiayai berbagai program populis yang membutuhkan dana besar.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo pada 7 Oktober lalu menyatakan, pemerintah Prabowo mungkin tidak menaikkan rasio utang terhadap PDB secara mendadak, melainkan secara bertahap.
Hashim menggarisbawahi pemerintah bakal lebih berani dalam utang tersebut, tetapi tetap berada dalam level yang diatur di undang-undang sebesar 60%.
Rasio utang RI dinilai masih cukup rendah saat ini sehingga masih memiliki ruang untuk dikerek lagi. Dibanding negara tetangga misalnya, rasio utang Indonesia dinilai masih kecil. Malaysia misalnya memiliki rasio utang 61%, Filipina 57%, dan Thailand 54%.
Namun, menaikkan rasio utang hingga mendekati batas yang diperbolehkan oleh Undang-Undang di angka 60% dari PDB, membutuhkan kehatihatian besar.
Saat ini, utang pemerintah off balance sheet sudah ada di kisaran 35% terhadap PDB. Maka, bila utang pemerintah pusat dikerek naik sampai 50%, maka itu bisa membawa utang sektor publik RI melampaui 80% bahkan sampai 90% terhadap PDB bila tidak dikelola hati-hati, menurut perhitungan Mega Capital Sekuritas beberapa waktu lalu.
Rasio utang publik sebesar itu sudah mendekati Amerika Serikat (AS) yang sudah di atas 100% dari PDB. Bagi negara-negara maju, rasio utang sektor publik yang besar menjadi hal lumrah. Itu karena pada saat yang sama negara-negara itu mencatatkan rasio pajak, sebagai cerminan pendapatan negara, sudah cukup tinggi.
Data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang menjadi representasi negara-negara maju, memperlihatkan, rasio pajak terhadap PDB negara-negara OECD mencapai 33,5%.
Denmark, misalnya, rasio pajak mereka telah di angka 46,5%. Bahkan Meksiko mencatat rasio pajak sebesar 17,9%. Sementara Amerika Serikat pada 2023 mencatat rasio pajak di kisaran 27,7% pada 2022. Amerika pernah mencatat rasio pajak di 28,3% pada tahun 2000 silam.
Sementara rasio pajak Indonesia baru sebesar 10,12% pada 2023, akan tetapi dengan posisi rasio utang publik sudah begitu tinggi.
Dengan rasio pajak masih begitu rendah, rasio utang yang makin tinggi akan menempatkan keuangan negara dalam eksposur risiko utang lebih tinggi.
Berdasarkan statistik Kementerian Keuangan, total utang sektor publik RI yang sudah di atas Rp16.000 triliun itu terdiri atas utang Pemerintah RI sebesar Rp8.600,28 triliun. Lalu, utang BUMN sektor keuangan sebesar Rp6.903,83 triliun. Juga, utang BUMN sektor nonkeuangan sebanyak Rp1.071,18 triliun.
(rui/aji)