Logo Bloomberg Technoz

Bank sentral mencatat lonjakan posisi ULN terbesar yakni hingga 189% year-on-year (yoy) yaitu dari sebesar US$9,27 miliar pada Agustus 2023 menjadi US$26,78 miliar.

Sedangkan kenaikan ULN pemerintah naik 4,6% mencapai US$200,42 miliar. Sementara sektor swasta membukukan kenaikan ULN 1,3% yoy menjadi US$197,84 miliar pada Agustus lalu.

ULN Indonesia menyentuh level tertinggi dalam sejarah (Dok. Bloomberg)

Kenaikan ULN itu menjadi alarm yang perlu diperhatikan. Terlebih ketika rasio ULN jangka pendek terus merangkak naik, begitu juga rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus meningkat.

Sampai akhir kuartal II-2024 lalu, rasio ULN jangka pendek berdasarkan jangka waktu asal terhadap total utang menyentuh 14,33%, tertinggi sejak 2014 silam. 

Begitu juga bila berdasarkan jangka waktu sisa, rasio ULN yang jatuh tempo kurang dari setahun ke depan terhadap total utang, tercatat naik ke level tertinggi dalam 10 tahun ini, mencapai 17,92%.

Sementara rasio ULN terhadap PDB mencapai 29,87%, juga tertinggi sejak kuartal 1-2023.

Biaya Operasi Moneter

Menilik penyebab lonjakan ULN yang dramatis dalam satu dasawarsa terakhir, terlihat bila yang menonjol adalah kenaikan nilai ULN dari bank sentral yang mencapai ratusan persen setahun terakhir.

Memang, secara proporsi, ULN bank sentral cuma setara 6,3% dari total utang. Namun, lonjakan setahun terakhir mempercepat kenaikan ULN secara keseluruhan. 

Logo Bank Indonesia.

Menilik ke belakang, kenaikan ULN bank sentral itu terutama karena langkah BI memulai operasi moneter tahun lalu, melalui penerbitan instrumen moneter baru, ketika tekanan pada rupiah menghebat akibat ketidakpastian global yang tinggi.

Instrumen baru itu antara lain, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), lalu Sukuk Valas Bank Indonesia (SuVBI).

Data bank sentral mencatat, sejak diperkenalkan pada pasar mulai September 2023, BI telah menerbitkan Rp927,61 triliun SRBI hingga akhir September. Pemodal asing tercatat menguasai 27,4% SRBI yang beredar di pasar sekunder saat ini, setara Rp254,22 triliun.

Sedangkan SVBI telah diterbitkan senilai US$2,95 miliar dan SuVBI sebanyak US$280 juta, per 17 September lalu.

Utang China

Kenaikan tajam ULN ke level tertinggi dalam sejarah Indonesia, juga disumbang oleh peningkatan utang luar negeri RI terhadap Tiongkok, seturut dengan booming proyek hilirisasi nikel dalam satu dasawarsa terakhir.

Statistik yang sama memperlihatkan, posisi ULN Indonesia terhadap China menyentuh level US$22,95 miliar, naik 272,7% dibandingkan akhir 2013 silam. Dengan kurs dolar AS saat ini, posisi ULN terhadap Tiongkok itu setara Rp358,22 triliun. 

Begitu juga nilai ULN dalam mata uang yuan Tiongkok, meningkat jadi US$9,52 miliar, naik gila-gilaan 1.900% dibanding akhir 2013. 

Meski begitu, proporsi ULN dalam yuan masih termasuk kecil dibandingkan dolar AS (63,58%), euro (6,46%), lalu yen Jepang (5,15%). Sedangkan ULN dalam renminbi setara 2,24% dari total utang.

Posisi ULN terhadap Tiongkok yang semakin besar dalam satu dasawarsa terakhir adalah buntut dari kian eratnya kerjasama dengan Beijing utamanya dalam proyek hilirisasi nikel ataupun infrastruktur. Keterlibatan Indonesia dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) yang digadang Tiongkok sejak 2013 silam.

Menko Marves Luhut Pandjaitan dan Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang di kereta cepat Jakarta-Bandung (Humas KCIC)

Jumlah proyek di Tanah Air di mana dana Tiongkok terlibat, cukup banyak. Catatan AidData pada 2021, terdapat 71 proyek terkait BRI di Indonesia, hanya kalah oleh Kamboja yang tercatat memiliki 82 proyek.

Infiltrasi dana Tiongkok dalam proyek infrastruktur yang meningkat selama era Jokowi, menuai banyak kritik karena dalam perjalanannya muncul banyak permasalahan yang mengkhawatirkan. Mulai dari pembengkakan biaya proyek, bunga pinjaman yang sangat mahal, persyaratan tenaga kerja bahkan untuk jenis pekerjaan kasar/non-ahli, hingga isu keselamatan kerja

Utang Publik Pecah Rekor

Lonjakan ULN itu semestinya menjadi peringatan akan posisi Indonesia yang rentan perihal utang. Selama ini, pemerintah selalu menekankan, rasio utang pemerintah masih aman karena angkanya di bawah 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Per akhir Agustus, rasio utang terhadap PDB mencapai 38,49%, atau sebesar Rp8.461,93 triliun. 

Akan tetapi, batas aman itu sebenarnya tidak cukup aman bila utang perusahaan-perusahaan pelat merah alias BUMN juga dihitung. BUMN sebagai perusahaan milik negara, selama ini bila terjadi ancaman gagal bayar atau bangkrut, pemerintah seringkali tidak memiliki pilihan selain turun tangan menyelamatkan (bailout) ataupun menyuntik modal tambahan yang biasanya diambil dari anggaran negara yang dibiayai oleh pajak masyarakat. 

Mengacu Statistik Utang Sektor Publik yang dilansir oleh Kementerian Keuangan, data terbaru sampai akhir kuartal II-2024, total utang sektor publik Indonesia telah menembus Rp16.575,31 triliun.

Angka itu terdiri atas, utang Pemerintah RI sebesar Rp8.600,28 triliun. Lalu, utang BUMN sektor keuangan sebesar Rp6.903,83 triliun. Juga, utang BUMN sektor nonkeuangan sebanyak Rp1.071,18 triliun.

Alhasil, dengan total utang sektor publik telah menembus Rp16.575,31 triliun, setara dengan 79,33% dari PDB tahun 2023 yang mencapai Rp20.892,4 triliun. 

Presiden Jokowi bertemu Presiden Terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto. (Dok. IG @jokowi)

Total utang publik itu, sebesar 27,5% atau sekitar Rp4.571,53 triliun merupakan utang dalam denominasi valuta asing, per kuartal II-2024.

Dengan kini ULN mencapai Rp6.635,39, maka angkanya setara dengan 40,03% dari total utang publik.

Sementara berdasarkan kreditur (pemberi pinjaman), utang publik RI yang berasal dari pemberi pinjaman asing setara dengan 26% dari total utang sektor publik per akhir kuartal II-2024.

Proporsi utang publik yang sudah sangat besar itu patut menjadi peringatan bagi pemerintahan baru. Terlebih tim Prabowo beberapa kali menyinggung tentang rencana pengerekan rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB hingga 50% dalam lima tahun kepemimpinan untuk membiayai rencana anggaran program populis, juga demi memburu target pertumbuhan ekonomi 8%.

Bila utang pemerintah pusat dikerek naik hingga 50%, maka utang sektor publik Indonesia bisa melompat lebih dari 80% dari PDB bahkan hingga 90%, menurut hitungan Mega Capital Sekuritas.

Bila itu terjadi, utang sektor publik Indonesia akan semakin mendekati Amerika Serikat (AS) yang kini rasionya telah melampaui 100% PDB.

Bagi negara-negara maju, rasio utang sektor publik yang besar menjadi hal yang lumrah mengingat pada saat yang sama rasio pajak, cerminan pendapatan negara, sudah cukup tinggi.

Data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang menjadi representasi negara-negara maju, menunjukkan, rasio pajak terhadap PDB negara-negara OECD mencapai 33,5%.

Negara seperti Denmark, misalnya, rasio pajak mencapai 46,5%. Bahkan Meksiko mencatat rasio pajak sebesar 17,9%. Sementara Amerika Serikat pada 2023 mencatat rasio pajak di kisaran 27,7% pada 2022. Amerika pernah mencatat rasio pajak di 28,3% pada tahun 2000 silam.

Sementara rasio pajak Indonesia baru sebesar 10,12% pada 2023 dengan posisi rasio utang publik sudah begitu tinggi. 

Dengan rasio pajak masih begitu rendah, rasio utang yang makin tinggi akan menempatkan keuangan negara dalam eksposur risiko yang tinggi yang bisa menjadi ancaman kerentanan.

-- update perincian posisi utang sektor publik RI.

(rui/aji)

No more pages