Pada saat yang sama, penjualan mobil di Indonesia, menurut data yang dilansir oleh perusahaan otomotif besar, PT Astra International Tbk (ASII), masih melanjutkan tren penurunan pada bulan lalu, anjlok 9% year-on-year dan turun 4,4% dibandingkan Agustus.
Data itu melengkapi berbagai indikator sebelumnya yang menunjukkan memang permintaan tengah lesu. Survei Penjualan Eceran terakhir yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia pekan lalu, memperkirakan, penjualan ritel pada September terkontraksi -2,5% month-on-month. Secara tahunan, penjualan eceran diprakirakan melambat, hanya tumbuh 4,7% pada September lalu.
Kelesuan penjualan eceran diramal akan berlanjut sampai November. Momentum kenaikan baru muncul kala libur perayaan Natal dan Tahun Baru dimulai pada Desember, bersamaan dengan libur anak sekolah.
Situasi itu membutuhkan respon yang tepat dari para pembuat kebijakan. Kebijakan yang potensial membebani daya beli masyarakat lebih jauh bisa membawa penjualan ritel juga durable goods lain makin tertekan.
PPN 12%
Pemerintah telah memastikan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari tahun depan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Mengenai waktu implementasinya, kami berpedoman pada amanat UU HPP, yaitu paling lambat 1 Januari 2025,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti, dilansir dari media lokal, pekan lalu.
Meski pemerintahan baru nanti memiliki diskresi apakah akan melanjutkan kebijakan itu atau tidak. Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo, yang juga menjadi Ketua Satgas Perumahan, sempat menyinggung rencana penghapusan sejumlah pajak terkait sektor perumahan.
Hashim bilang, sejumlah penghapusan pajak sektor perumahan yang diusulkan untuk dihapuskan antara lain bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) serta PPN.
"Sudah kita bahas beberapa kali ada masukan-masukan dari Pak Nixon [Dirut BTN], Pak Bonny [anggota Satgas Perumahan], kalau enggak salah dari SMF ya, dan lain-lain; agar PPN 11% dihapus untuk sementara waktu mungkin 1, 2, 3 tahun pertama kita hapus. Ini untuk mengurangi ya beban," kata Hashim pada Jumat lalu.
Sementara dalam pernyataannya Senin kemarin, Wakil Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo-Gibran, Anggawira, menyatakan, pembatalan rencana kenaikan PPN jadi 12% pada Januari nanti membutuhkan perubahan Undang-Undang terkait.
Anggawira menyatakan keputusan tersebut merupakan keputusan politik yang memerlukan kesamaan pandang dari sisi politik, serta membutuhkan pembahasan lebih lanjut di DPR.
Yang pasti, penghapusan PPN yang terbatas di sektor properti, akan tetapi tetap diberlakukan di segmen lain seperti di sektor ritel mulai barang fast moving consumer goods (FMCG), alat rumah tangga, hingga jasa seperti jasa perawatan di salon, sampai harga langganan on-demand streaming seperti Netflix dan sebagainya, sepertinya akan membawa dampak tidak kecil pada peningkatan beban masyarakat.
Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) David Sumual menjelaskan, sejatinya bila tujuan kenaikan PPN adalah untuk menambah penerimaan negara, masih ada cara lain yang bisa dipertimbangkan tanpa harus membebani masyarakat. Misalnya, dengan memperbaiki administrasi perpajakan. "Kenaikan pajak juga bisa dilakukan untuk mempengaruhi aktivitas ekonomi yang ingin lebih dikontrol oleh pemerintah," kata David.
Hal lain yang bisa ditempuh bila tujuannya adalah untuk menaikkan penerimaan negara adalah dengan mengenakan land value tax seperti yang diberlakukan di Singapura dan Hong Kong.
"Land value tax dibebankan pada spekulan tanah sehingga kelas menengah tidak perlu terdampak. Selain itu, karena land value tax dibebankan pada aset tanah tanpa bangunan, pemberlakuan aturan tersebut juga bisa meningkatkan utilisasi tanah di Indonesia," jelas David.
-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.
(rui/aji)