Pertama, fenomena yang menunjukkan bahwa Individu berpengaruh terhadap kelompok. Kedua, fenomena yang menunjukkan bahwa kelompok mempengaruhi individu.
“Dalam kaitannya dengan perilaku bunuh diri nampaknya yang berlaku adalah pengaruh labeling kelompok terhadap individu, dalam arti ketika kelompok mengkonstruksi atau melabelkan bahwa jika seseorang tidak mampu menghadapi dan mengatasi problema hidupnya maka lebih baik mati, maka konstruksi sosial ini akan berpengaruh terhadap individu,” jelas Soeprapto kepada Bloomberg Technoz.
Namun, Soeprapto menambahkan sesungguhnya tidak sesederhana itu. “Karena seseorang yang melakukan bunuh diri itu biasanya karena di saat menghadapi masalah, dia berada dalam keadaan anomi, terlepas dari pantauan kelompok atau lingkungan terdekatnya, sehingga tidak sempat mendapat masukan dari pihak lain, akhirnya mencari jalan pintas,” tambahnya.
Terkait banyaknya pelaku dari kalangan Generasi Z, Soeprapto menilai karena Gen Z memasuki revolusi industri 4.0. Yang artinya komunikasi banyak dilakukan secara digital.
“Generasi ini adalah generasi yang telah memasuki Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan penggunaan sarana komunikasi dan interaksi digital yang demikian transparan namun imaginatif. Dalam arti di satu sisi komunikasi mudah dilakukan namun pasangan komunikasinya tidak riil hadir, sehingga ikatan emosionalnya rendah, apalagi jika hanya berupa audio bukan video, sehingga rasa empati dan rasa ikut memiliki juga rendah,” kata Soeprapto.
“Akibatnya kebutuhan untuk mendapatkan solusi terhadap permasalahannya tidak maksimal,” tutupnya.
Di sisi lain, Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga, Novita Tandry memiliki pandangan terkait fenomena kasus bunuh diri yang terjadi pada mahasiswa akhir-akhir ini. Hal ini juga dikaitkan para korban berada pada usia setara dengan Generasi z.
Menurut Novita, stigma mengenai Generasi Z disebutkan lemah hingga minim daya juang itu sepenuhnya tidak benar. Apalagi cepat memutuskan untuk melakukan pemikiran mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.
Kata dia hal ini terjadi datang dari orang tua yang berbeda generasi dengan sang anak, tidak adanya pemahaman dan pengertian kepada sang anak.
"Cuma karena kita aja, khusus generasi aku (X), tidak paham cara berkomunikasi dengan mereka, di mana otak sekaligus cara berpikir kita yang, saya Generasi X, dengan generasi sebelumnya orang tua X seperti saya, yang saya yakin contohnya, X, jadi karena tidak memahami saja kepada Gen Z ini," kata Novita kepada Bloomberg Technoz, Jumat (11/10).
"Tidak memahami ini, relasi jadi rusak, komunikasinya susah," tambahnya.
Kemudian, kata Novita, ia menilai pada usia yang baru di duduk bangku kuliah adalah masa-masa mencari indentitas diri dan gambaran diri akan ke mana berlabuh dari kehidupan yang akan dijalani ke depan.
"Masa-masa dimana mencari indentitas diri, mencari self image, gambaran diri. Saya ini mau jadi apa? Mau ke mana saya hidup?"ujarnya.
Lalu, ketiga perbandingan dengan sekeliling, apalagi dengan zaman sosial media yang gampang terlihat kehidupan orang lain, sehingga menimbulkan gambaran diri sendiri yang tidak pernah puas.
"Belum lagi membandingkan dengan teman-temannya, jadi kalau gambaran diri tidak pas, superior, dia menganggap dirinya lebih tinggi daripada gambaran dirinya, dia gambaran dirinya lebih rendah daripada harusnya dia, dia akan menjadi low self esteem rasa percaya dirinya rendah, inferior,"katanya.
Peran Orang Tua
Novita mengingatkan kepada kerabat terutama orang tua untuk tidak menakut-nakuti berkaitan soal masa depan. Karena fondasi sesungguhnya seorang anak untuk menciptkan karakter kuat berasal dari dukungan dan pengertian dari dalam rumah.
Selain bidang akademik, pemenuhan spiritual dari agama perlu juga dibarengi agar anak-anak memiliki batasan dan pegangan dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, apalagi pengaruh di dalam sosial media.
"Kalau ini tidak dipahami dan orang tua penuh dengan kecemasan, menakut-nakuti masa depan dia, nggak usah lu takutin, mereka saja udah cemas lho, sudah khawatir, mau jadi apa saya? Ditambah dengan orang tua terus menakuti dan ancaman," nilainya.
"Secara intelektual mereka kan terdidik nih, dengan hanya sumber informasi banyak, tapi tidak dibarengin dengan agama. Kalau buat saya ini tidak diajarkan buat apa dia hidup? Keterima tantangan seperti ini ya gampang memutuskan, hidup tuh susah tiap hari kenapa nggak sekarang saja mati?" jelasnya.
Disclaimer: Masalah depresi jangan dianggap ringan. Jika Anda pernah memikirkan atau merasakan tendensi bunuh diri, mengalami krisis emosional, atau mengenal orang-orang dalam kondisi itu, hubungi pihak yang bisa membantu, misalnya saja Into The Light (pendampingan.itl@gmail.com) untuk penduduk Jabodetabek atau Inti Mata Jiwa untuk penduduk Yogyakarta dan sekitarnya (intimatajiwa@gmail.com).
(spt/del)