Namun, indikator Stochastic RSI berada di 29,82. Menghuni area jual (short).
Oleh karena itu, ada kemungkinan harga emas mengalami koreksi. Target support di US$ 2.630/troy ons yang merupakan Moving Average (MA) 20 sepertinya cukup realistis. Jika tertembus, maka US$ 2.624/troy ons bisa menjadi target berikutnya.
Sementara target resisten terdekat adalah US$ 2.650/troy ons. Penembusan di titik ini berpotensi membawa harga emas ke arah US$ 2.658/troy ons.
Data Inflasi
Rilis data inflasi di Amerika Serikat (AS) membebani laju kenaikan harga emas. Malam tadi waktu Indonesia, US Bureau of Labor Statistics melaporkan, laju inflasi AS pada September sebesar 2,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy). Ini adalah yang terendah sejak Agustus 2021 atau lebih dari 3 tahun terakhir.
Akan tetapi, realisasi tersebut masih di atas ekspektasi pasar. Konsensus pasar memperkirakan inflasi September sebesar 2,3% yoy.
Sementara laju inflasi inti (core) pada September adalah 3,3% yoy. Lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,2% yoy.
Oleh karena itu, pasar masih memperkirakan bank sentral Federal Reserve akan bergerak hati-hati dalam melonggarkan kebijakan moneter. Mengutip CME FedWatch, peluang suku bunga acuan turun 25 basis poin (bps) menjadi 4,5-4,75% pada November adalah 86,9%. Sementara peluang penurunan yang lebih agresif yaitu 50 bps ke 4,25-4,5% praktis tidak ada, 0%.
Bahkan ada kemungkinan The Fed tetap mempertahankan Federal Funds Rate di 4,75-5% dalam rapat November. Probabilitasnya adalah 13,1%.
Data ini kurang kondusif bagi emas. Sebab, emas adalah aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding asset). Memegang emas menjadi kurang menguntungkan saat suku bunga masih tinggi.
“Dengan inflasi dan inflasi inti yang lebih tinggi dari perkiraan, mungkin The Fed akan memilih sikap dovish,” ujar Bart Melek, Global Head of Commodity Strategy di TD Securities, seperti dikutip dari Bloomberg News.
(aji)