Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengakui saat ini kebijakan penghiliran atau hilirisasi—khususnya sektor pertambangan mineral logam — di Indonesia masih baru sebatas pabrik pemurnian atau smelter, yang mengolah bahan mentah menjadi produk antara.

Dalam kaitan itu, Kepala Negara tidak menampik hilirisasi masih perlu dilanjutkan untuk pengembangan industri turunan di dalam negeri guna menyerap hasil produk smelter. Industri turunan tersebut pun mesti dibangun di lokasi yang berdekatan dengan smelter.

Bahkan, Jokowi memberikan contoh bahwa industri turunan seperti pabrik copper foil harus berada di sekitar lokasi industri dari smelter katoda tembaga baru yang dimiliki oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) di Manyar, Gresik, Jawa Timur.

“Memang ini baru masuk ke smelter sehingga industri turunan harus didorong. [Smelter] Freeport jadi nanti industri turunan ke sini semua harus berada di sekitar lokasi industri smelter yang dimiliki Freeport, baik itu copper foil dan lain-lain,” ujar Jokowi dalam Malam Puncak HUT Ke-79 Pertambangan dan Energi, Kamis (10/10/2024), malam.

Realisasi Investasi Smelter 2014—2024 (Bloomberg Technoz)

Selain tembaga, dia juga mendorong agar industri turunan dari nikel dibangun di Indonesia. Hal ini terjadi karena nilai tambah yang besar justru terjadi dengan pengolahan dan produksi dalam negeri, bukan hanya sekadar mengekspor bahan baku mentah.

Jangan Mundur

Pada kesempatan tersebut, Jokowi kembali membanggakan tentang dampak hilirisasi nikel, yang melompat secara signifikan tecermin dari nilai ekspor dari bahan mentah sebesar US$2,9 miliar pada 2020 menjadi produk hilir senilai US$34,4 miliar pada 2023.

“Inilah yang sering saya sampaikan pentingnya hilirisasi. Industrial downstreaming penting sekali, jangan ada yang mundur untuk satu masalah ini, dengan alasan apapun,” ujarnya.

Masalah serapan domestik untuk produk yang dihasilkan smelter di Indonesia sebelumnya disorot oleh Presiden Direktur Freeport Indonesia Tony Wenas.

Tony menggambarkan pembeli katoda tembaga dari dalam negeri, sebagai hasil olahan dari pabrik pemurnian atau smelter, masih bersifat ‘omon-omon’ atau sekadar wacana tak konkret.

Menurutnya, separuh dari hasil produksi smelter miliknya di PT Smelting diekspor dan sebanyak 200.000 ton yang terserap dalam negeri.

Sementara itu, calon pembeli atau offtaker dalam negeri untuk katoda tembaga—yang dihasilkan oleh smelter baru di Manyar, Gresik, Jawa Timur dengan nilai investasi Rp56 triliun — baru sebanyak 50.000 ton hingga 100.000 ton dari pabrik copper foil di KEK JIIPE, tetapi belum ada komitmen.

“Berapa banyak offtaker sudah diterima? Kalau pembelinya ada saja, tetapi kalau dalam negerinya masih 'omon-omon'. Jadi intinya, industri yang lebih hilirnya mana? Ini sudah 5 tahun membangun, dari awal kita membangun sudah dikumandangkan hal ini, [investasi] Rp56 triliun,” ujar Tony dalam agenda BNI Investor Daily Summit 2024, awal pekan ini.

Tony menggarisbawahi persoalan yang dihadapi di Indonesia adalah konsumsi katoda tembaga yang kecil. Hal ini terjadi karena beberapa barang yang mengandung katoda tembaga justru masih diimpor dalam keadaan utuh.

Dia memberikan gambaran ducting dari AC masih diimpor dalam keadaan utuh, padahal memiliki kadar tembaga yang tinggi.

“Lalu ada beberapa cabling lainnya ya, contoh dalam satu unit electronic processor unit dari mobil, itu banyak kabelnya, tetapi mesti diimpor. Kalau itu diproduksi dalam negeri tentunya konsumsi katoda tembaga akan meningkat,” ujarnya.

Adapun, Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesia Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau mengatakan meskipun Indonesia mampu memproduksi katoda tembaga sebesar 1,2 juta ton hingga 1,3 juta ton, tetapi serapan dalam negeri hanya sebesar 250.000 ton.

“Sangat kecil, jadi ini adalah tantangan kita di depannya, tetapi juga menjadi peluang terbaik buat Indonesia,” ujarnya.

(dov/wdh)

No more pages