Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi PNBP sektor mineral dan batu bara (minerba) melonjak dari hanya Rp35,46 triliun pada 2014 menjadi Rp172,96 triliun pada 2023, yang juga terjadi karena adanya peningkatan harga komoditas.
Kementerian ESDM juga mencatat penyerapan tenaga kerja subsektor minerba mencapai 49.000 pada 2023.
Dari sisi investasi, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi pabrik pemurnian atau smelter menembus Rp114,1 triliun.
Lari ke China
Di tengah euforia lonjakan ekspor sektor mineral logam tersebut, pertengahan tahun lalu, almarhum Faisal Basri—ekonom senior dan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) — melontarkan sanggahan dan menyatakan uang hasil ekspor itu tidak sepenuhnya mengalir ke Indonesia, mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100% dimiliki oleh China.
“Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri,” tulis Faisal dalam blog pribadinya.
Isu tersebut sebenarnya turut diakui langsung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Bahlil menyebut 85% industri penghiliran atau hilirisasi nikel di dalam negeri masih dikuasai oleh asing.
Menurut Bahlil, hal ini berkaitan dengan perbankan luar negeri yang lebih berminat untuk mendanai proyek hilirisasi nikel di Indonesia dibandingkan dengan perbankan dalam negeri.
“Untuk industrinya, itu saya jujur mengatakan dikuasai 85% oleh asing. [..] Andaikan pun ada [bank dalam negeri], equity-nya besar 30%—40%. Pertanyaan saya, pengusaha siapa yang punya uang 30%—40% untuk menjadi equity? Andaikan pun ada, pengusahanya itu lagi, itu lagi, itu lagi. Kalau tidak bapaknya, anaknya, kalau tidak anaknya, cucunya, kalau tidak keponakannya. Nah, kita kan tidak mau seperti ini,” ujar Bahlil di BNI Investor Daily Summit 2024, Rabu (9/10/2024).
Bila perbankan luar negeri yang memberikan kredit, kata Bahlil, terdapat persyaratan yang diberikan, salah satunya adalah memasukan hasil transaksi ke rekening bank yang dipinjam.
Selain itu, hasil transaksi tersebut juga bakal dipotong oleh utang pokok dan bunga yang biasanya mencapai 60% dari keuntungan, sehingga dana tersebut kembali ke bank luar negeri yang memberikan pinjaman kepada industri.
Sementara itu, 30% berada di Indonesia sebagai pengeluaran operasional atau operational expenditure (opex) dan 10% untuk keuntungan perusahaan.
“Pertanyaan berikutnya, bagaimana caranya agar mau semuanya kembali ke dalam negeri semuanya? Gampang saja. Seluruh investasi yang terkait dengan hilirisasi daripada industri, dibiayai semuanya oleh bank dalam negeri, khususnya himpunan bank negara [Himbara]. Selesai soal,” ujarnya.
Nilai Tambah Cekak
Selain soal penguasaan asing, hilirisasi pada era Jokowi juga terus menuai kritik karena nilai tambah yang dihasilkan tidak begitu besar dan hanya menjadi produk setengah jadi.
Pengamat Energi dari Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI) Ali Ahmudi Achyak mengatakan hilirisasi nikel—yang mayoritas diolah melalui smelter nikel kelas II atau pirometalurgi dengan teknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF) — hanya menghasilkan produk antara berupa nickel pig iron (NPI) yang bukan menjadi bahan baku utama dari baja nirkarat atau stainless steel.
“Itu hanya pelapis saja, bahan dasarnya tetap dari logam yang lain, sehingga tidak menjadi material inti dan nilai tambahnya tidak besar. Hanya bahan setengah jadi, atau bahkan terkesan hanya sebuah kamuflase,” ujar Ali.
Sementara itu, Ali mengatakan, hilirisasi nikel dengan nilai tambah yang besar justru terjadi pada smelter berbasis high pressure acid leach (HPAL) atau hidrometalurgi untuk proses ke arah katoda baterai.
Berdasarkan data milik Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesian Mining Association (IMA), yang mengutip data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) pada 2023, jumlah smelter RKEF yang beroperasi adalah 44, sementara hanya 3 smelter HPAL yang beroperasi di Indonesia.
Serapan Sulit
Senada dengan Ali, PT Freeport Indonesia (PTFI) membenarkan proses hilirisasi dari konsentrat menjadi katoda tembaga melalui pembangunan smelter yang sangat mahal ternyata hanya menghasilkan nilai tambah pada rentang 3,5% hingga 5%.
VP Government Relation Freeport Indonesia Harry Pancasakti mengatakan perseroan padahal sudah menggelontorkan investasi hampir Rp60 triliun untuk membangun pabrik pemurnian atau smelter katoda tembaga terbaru di Manyar, Gresik, Jawa Timur.
“Nilai tambahnya hanya 3,5% sampai 5%. Sementara itu, investasi yang diperlukan seperti yang kita sudah selesaikan di Gresik, itu hampir Rp60 triliun,” ujar Harry.
Bukan hanya nilai tambah yang kecil, produk hilirisasi tembaga berupa katoda tembaga juga mayoritas tidak dapat diserap oleh pasar dalam negeri.
Menurut Harry, tantangan selanjutnya bagi Indonesia adalah menentukan tahapan hilirisasi dari tembaga. Terlebih, produk yang akan dihasilkan dari katoda tembaga memiliki nilai tambah yang jauh lebih besar.
Sementara itu, kata Harry, selama ini hanya 50% dari produk katoda tembaga yang dihasilkan oleh smelter PT Smelting milik Freeport yang dapat diserap dalam negeri dan sisanya terpaksa diekspor. Smelter itu padahal sudah berproduksi sejak 1998.
Selanjutnya, Harry mengatakan, sejauh ini komitmen menyerap atau offtaker produk katoda tembaga dari smelter terbaru di Manyar, Gresik baru sekitar 100.000 ton/tahun dari pabrik foil tembaga di KEK JIIPE, Gresik, Jawa Timur.
Dalam kapasitas penuh, padahal, smelter memiliki kemampuan untuk mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga yang bakal menghasilkan 600.000—700.000 ton katoda tembaga.
Di lain sisi, Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan daya serap dalam negeri yang rendah membuat perseroan memutuskan untuk mengekspor katoda ke luar negeri.
“Untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih besar di dalam negeri, pemerintah seyogyanya harus fokus dalam membangun industri turunannya seperti kabel,” ujar Rizal.
Investasi Mahal
Berbeda kisah dari nikel dan tembaga, hilirisasi lain di sektor bauksit justru masih tertatih-tatih. Hilirisasi bauksit sebenarnya menghasilkan produk dengan nilai tambah besar berupa alumina. Namun, hal tersebut justru menyebabkan nilai investasi yang digelontorkan untuk pembangunan smelter menjadi lebih mahal.
Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Indonesia (AP3BI) Ronald Sulistyanto menjelaskan biaya investasi smelter bauksit mencapai US$1,2 miliar untuk 2 juta ton.
“Nikel itu bervariasi, di bawah US$1,2 miliar, bergantung dengan produk turunannya apa. Kenapa bauksit mahal? Karena turunannya hanya sekali, jadi alumina,” ujar Ronald.
Investasi yang besar tersebut pada akhirnya menyebabkan progres pembangunan smelter bauksit menjadi lambat, yakni saat ini rata-rata berada di bawah 50%.
Bahkan, AP3BI menilai Indonesia belum akan memiliki smelter bauksit tambahan dalam waktu dekat, usai Jokowi melakukan peresmian terhadap injeksi bauksit perdana Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) fase 1 di Mempawah, Kalimantan Barat dengan nilai investasi Rp16 triliun.
Masih dari aspek investasi, hilirisasi nikel juga acapkali banjir kritik karena mayoritas investor berasal dari China.
Ali mengatakan 90% investasi hilirisasi nikel berasal dari China. Dengan demikian, bahan mentah milik Indonesia bakal diolah oleh tenaga kerja China, dijual ke China dalam bentuk produk antara, dan kembali diolah menjadi produk jadi ke Indonesia dengan harga yang tinggi.
Data milik Kementerian Investasi/BKPM melaporkan realisasi investasi smelter nikel mencapai Rp80,9 triliun pada semester I-2024. Adapun, China merupakan negara kedua yang paling banyak melakukan investasi di Indonesia pada periode tersebut.
Kecelakaan dan Kerja Paksa
Namun, smelter milik China belakangan menyita perhatian karena deretan kecelakaan kerja yang terjadi seperti ledakan.
Terbaru, terdapat semburan uap panas pada tungku smelter feronikel di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada Kamis (13/6/2024) pukul 22.00 WITA yang menyebabkan 2 orang butuh menjadi korban.
Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan setidaknya terdapat total 61 korban jiwa akibat kecelakaan kerja pada pabrik pemurnian atau smelter di 5 area Indonesia hingga 2023. Seluruhnya tercatat merupakan insiden yang terjadi di smelter nikel.
Adapun, Kemenaker mencatat setidaknya terdapat total 59 kasus kecelakaan kerja pada periode 2015—2023 di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Gunbuster Nickel Industry (GNI), Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), PT Wedabay Industrial Park (IWIP), dan Huadi NickelAlloy Indonesia (HDNI).
Masih soal aspek keselamatan kerja, Amerika Serikat (AS) melalui Departemen Ketenagakerjaan atau US Department of Labor (US DOL) pada September tahun ini mengeklaim bahwa industri nikel di Indonesia menerapkan sistem kerja paksa.
Dalam laporan terbaru, US DOL menjelaskan warga negara asing (WNA) asal China direkrut untuk bekerja di Indonesia, berdasarkan laporan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Laporan tersebut menyebutkan kerja paksa terjadi pada kawasan industri di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, di mana China memiliki kepemilikan mayoritas atas kawasan ini.
“Pekerja secara teratur mengalami penyitaan paspor oleh pemberi kerja dan mengalami pemotongan upah secara sewenang-wenang, serta kekerasan fisik dan verbal sebagai bentuk hukuman,” sebagaimana dikutip melalui laporan 2024 List of Goods Produced by Child Labor or Forced Labor.
Dilanjutkan Prabowo
Dengan segala kekurangannya, hilirisasi sektor pertambangan membutuhkan perbaikan besar-besaran pada masa pemerintahan ke depan, di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto. Aspek keselamatan, lingkungan, serapan pasar, hingga pengembangan industri yang lebih hilir seperti baterai kendaraan listrik harus dipacu.
Terlebih, Prabowo sendiri telah memastikan ambisi hilirisasi industri yang ditekankan oleh Jokowi akan tetap dilanjutkan pada masa pemerintahan selanjutnya.
“Selain swasembada pangan dan energi, kita harus hilirisasi. Hilirisasi yang dicanangkan Presiden Jokowi ini mutlak kunci kebangkitan [ekonomi] kita, [sehingga] kita harus hilirisasi. Dari hilirisasi, kita maksimalkan industrialisasi,” ujarnya di acara BNI Investor Daily Summit 2024, Rabu (9/10/2024).
Dia juga memastikan akan melanjutkan program hilirisasi pertambangan mineral logam, terlebih Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, demikian halnya dengan cadangan bauksit dan tembaga.
Belum lagi, Indonesia juga kaya akan mineral penting lainnya seperti uranium dan logam tanah jarang. Bagaimanapun, dia tidak menampik upaya hilirisasi yang digadang-gadang pemerintah kerap menuai kritik.
“[Memang] ada pihak-pihak yang selalu pesimistis atau sengaja tidak suka Indonesia bangkit, [padahal] itu semua—swasembada pangan, energi, dan hilirisasi — adalah salah satu tugas di depan kita untuk menyelamatkan anak-anak kita,” tutup Prabowo.
(wdh)