“Kekhawatiran ekonomi yang harus kita pertimbangkan adalah bahwa wilayah ini akan mendapatkan manfaat lebih sedikit dari pertumbuhan China, seiring dengan melambatnya pertumbuhan China,” tutur Aaditya.
Faktor risiko ketiga, ia mewaspadai restriksi perdagangan global dengan diterapkannya tarif eksplisit, pembatasan ekspor, hingga kebijakan industri baru yang membuat produsen memilih bahan baku domestik dibandingkan bahan baku asing.
Aaditya menjelaskan bahwa restriksi perdagangan tengah meningkat di kawasan Asia Timur dan Pasifik, yang turut melingkupi Indonesia. Padahal, andil ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi pada wilayah ini memiliki andil yang besar.
“Itu menjadi perhatian bagi kami, karena seperti yang saya katakan beberapa waktu lalu, wilayah ini berkembang melalui keterbukaan terhadap perdagangan dan investasi, baik di dalam negeri maupun di pasar luar negerinya,” ucap Aaditya.
Wakil Presiden Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Manuela V Ferro menyampaikan pihaknya memprediksi wilayah ini tumbuh 4,8% pada 2024 dan melambat menjadi 4,4% pada 2025.
“Kami juga berharap bahwa paket fiskal dan moneter yang baru saja diumumkan dapat membantu. Ini dapat membantu dalam jangka pendek. Tentu saja, dalam jangka panjang, reformasi struktural yang lebih mendalam, perdagangan yang tetap terbuka dan tidak terhambat, serta sumber-sumber pertumbuhan baru akan semua berkontribusi untuk menumbuhkan ekonomi ini,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Sebelumnya, Bank Dunia melaporkan, di antara negara-negara besar di kawasan Asia Timur dan Pasifik, hanya Indonesia yang diperkirakan mengalami pertumbuhan ekonomi 2024 dan 2025 setara atau di atas tingkat pertumbuhan sebelum pandemi.
Sementara itu, pertumbuhan di Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam diperkirakan berada di bawah tingkat pertumbuhan sebelum pandemi.
Hal tersebut tercantum dalam laporan enam bulanan bertajuk 'World Bank East Asia and The Pacific Economic Update’ yang diterbitkan pada Selasa (8/10/2024).
(azr/lav)