Sementara tren berbeda terlihat di kelas konsumen lain, mulai dari kelas konsumen dengan nilai pengeluaran terbawah hingga konsumen kelas atas.
Kelas konsumen atas dengan nilai belanja di atas Rp5 juta, misalnya, pengeluaran konsumsinya meningkat tapi alokasi untuk tabungan turun. Pola serupa juga terlihat di konsumen bawah dan menengah bawah. Ini yang oleh beberapa pihak disebut sebagai fenomena 'makan tabungan'.
Adapun kelas konsumen menengah atas dengan pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta, memperlihatkan pola lebih mengkhawatirkan. Konsumen kelompok ini alokasi tabungannya berkurang di kala pengeluaran konsumsinya naik. Pada saat yang sama, pengeluaran untuk cicilan utang juga meningkat.
Bagi konsumen, penurunan harga mungkin akan memberikan keuntungan jangka pendek karena belanja jadi lebih murah. Namun, itu tidak akan bertahan lama.
Harga yang terus turun membuat margin keuntungan para produsen kian susut. Bisnis semakin terseret sepi.
Para produsen akan menempuh efisiensi agar kelesuan permintaan pasar tidak makin menekan margin keuntungan. Caranya, bisa dengan memangkas biaya tetap, termasuk di antaranya mengurangi tenaga kerja.
Bisa juga dengan mengurangi stok agar produksi tidak menumpuk. Dampaknya bisa panjang hingga ke hulu. Para distributor pun akan ikut mengurangi belanja karena enggan kelimpahan inventaris barang terlalu besar.
Kerumitan dalam deflasi bisa makin dipertajam oleh perkembangan industri keuangan. Di sektor perbankan, deflasi memiliki pengaruh berlawanan terhadap kreditur (penyedia pinjaman) dan debitur (penerima pinjaman).
Saat harga barang dan jasa turun, nilai riil mata uang meningkat sesuai jumlah barang dan jasa yang bisa dibelinya. Sebagai konsekuensi, nilai riil utang dan biaya utang akan meningkat.
Kenaikan biaya yang ditanggung oleh debitur mungkin akan memicu peningkatan kasus gagal bayar, sebagian karena nilai agunan yang turun, sehingga membahayakan perekonomian terlebih bila angka kredit bermasalah sudah cukup besar.
Dalam skenario itu, seiring dengan ketidakpastian serta masih adanya ekspektasi penurunan harga, para konsumen yang tidak bergantung pada pinjaman pun akan mengurangi pengeluaran dan investor akan menunda investasi. Efeknya bisa panjang, pengangguran bisa makin banyak, kontraksi output berlanjut dan deflasi makin besar.
Kesuraman itu bisa mendorong para deposan menarik dana dan akhirnya mengancam likuiditas perbankan. Di Indonesia, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan pada Agustus menyentuh laju terendah dalam tujuh bulan, yaitu hanya naik 6,8% year-on-year.
"Spiral deflasi akan terus menekan perekonomian sampai ada langkah-langkah khusus diambil untuk memulihkan solvabilitas sistem perbankan dan menghentikan spekulasi harga," jelas Douglas H. Brooks dan Pilipinas F. Quising, dalam artikel 'Dangers of Deflation' dilansir oleh Asian Development Bank.
Ketidakstabilan ekonomi bahkan ancaman resesi bisa pecah dari deflasi yang berkepanjangan seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Sesuatu yang tidak diharapkan terjadi di Indonesia.
Berikut ini dampak deflasi berkepanjangan yang mungkin dirasakan oleh individu, rumah tangga, juga dunia usaha dilansir dari berbagai sumber:
Dampak Deflasi
Harga yang terus menurun mungkin akan mendorong konsumen untuk berbelanja lebih banyak karena uang yang dikeluarkan jadi lebih murah. Tapi, itu tidak akan bertahan lama karena dampak deflasi ke perekonomian secara keseluruhan akan memicu vibecession makin kuat hingga konsumen akan memilih menahan atau mengurangi belanja.
Selain itu, nilai belanja masyarakat juga sulit diharapkan meningkat hanya karena harga turun. Sepanjang tidak ada momentum pendorong seperti hari raya atau faktor musiman lain, belanja masyarakat akan segitu-gitu saja sesuai pola kebutuhan.
Di sisi lain, penurunan harga berarti nilai uang saat ini lebih berharga. Seseorang yang memiliki utang, akan mendapati nilai riil utang yang ia tanggung jadi meningkat.
Pada banyak kasus, karena agunan utang mungkin ikut turun nilainya, bank mungkin akan meminta biaya utang (bunga) lebih mahal. Bila keuangan konsumen tidak siap menanggung kenaikan biaya tersebut, kasus kredit bermasalah bisa membesar.
Sebagai informasi, rasio kredit bermasalah (NPL) di perbankan pada Juli naik ke level 2,27%, dibandingkan posisi akhir 2023 yang sebesar 2,17%.
Pada kasus di Indonesia, deflasi berkepanjangan saat ini nyatanya tidak diikuti oleh penurunan komoditas yang dibutuhkan masyarakat sehari-hari. Banyak barang/jasa yang masih naik harganya, mulai gula pasir, ikan segar, kopi bubuk, sampai barang-barang personal care seperti sabun, shampoo, dan lain-lain.
Deflasi yang berlanjut dan mengancam kelangsungan usaha juga pada akhirnya dapat mengancam stabilitas pekerjaan seseorang. Penjualan yang terus menurun akan mendorong pebisnis melakukan efisiensi, termasuk melakukan pemutusan hubungan kerja.
Konsumsi Rumah Tangga
Penurunan harga mungkin akan membuat pengeluaran rumah tangga untuk berbelanja menjadi lebih murah. Namun, hal itu bergantung pada barang apa saja yang terkikis harganya.
Badan Pusat Statistik menyatakan, deflasi September lalu, deflasi kelima bulan, adalah karena penurunan harga pangan bergejolak seperti cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam, tomat, daun bawang, kentang dan wortel. Deflasi juga disumbang penurunan harga bensin dan solar.
Namun, menghitung secara tahunan (year-on-year), masih ada banyak barang kebutuhan yang naik harganya alias terinflasi. Kelompok minuman makanan, minuman dan tembakau mencatat inflasi 2,57% yoy. Begitu juga kelompok pakaian, alas kaki, yang mencatat inflasi 1,18%.
Secara lebih spesifik, beberapa barang terindikasi masih naik di antaranya beras, bawang putih, cabai rawit, kentang, kopi bubuk, gula pasir, minyak goreng, sigaret kretek tangan (SKT), sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), sewa rumah, kontrak rumah, upah asisten rumah tangga, mobil, angkutan udara, akademi/PT, uang sekolah SD, nasi dengan lauk, kue kering berminyak, dan emas perhiasan.
Itu berarti meski terjadi deflasi, pengeluaran keluarga/rumah tangga kemungkinan masih tetap mahal. Lebih buruk lagi, pada rumah tangga dengan sumber pendapatan dari penjualan ritel, pengeluaran tetap besar di kala pendapatan susut akibat penjualan yang lesu.
Kelesuan secara umum akan mendorong rumah tangga lebih selektif berbelanja. Pembelian barang tahan lama akan ditunda. Ini yang terlihat juga dari Survei Konsumen terakhir. Indeks Pembelian Barang Tahan Lama turun pada September.
Konsumen dengan nilai pengeluaran terbesar, indeksnya turun paling tajam mencerminkan kaum berduit di negeri ini kini mengurangi pembelian durable goods. Begitu juga konsumen bawah dan menengah bawah.
Selain itu, ketika dampak deflasi telah membuat pengusaha mengurangi pekerja, rumah tangga yang berkurang sumber pendapatannya akan menghadapi kesulitan keuangan.
Sementara bagi yang masih memiliki pekerjaan dan pendapatan lebih (disposable income), ia akan lebih berhati-hati berbelanja dan meningkatkan penempatan di aset-aset konservatif yang risikonya relatif rendah, seperti deposito bank, surat berharga, valuta asing hingga emas.
Dunia Usaha dalam Bahaya
Efek deflasi bisa sangat berbahaya bagi dunia usaha. Konsumen yang menahan belanja, mengurangi pengeluaran atau memang mengalami penurunan daya beli, berdampak langsung pada kinerja penjualan yang lesu.
Survei Penjualan Eceran terbaru mengungkapkan, penjualan ritel pada September diprediksi turun alias terkontraksi -2,5% dan secara tahunan tumbuh melambat sebesar 4,7%.
Kelesuan diperkirakan berlanjut sampai November nanti dan baru bangkit saat Libur Natal datang yang secara musiman menaikkan belanja masyarakat.
Penjualan yang turun, akan menurunkan pendapatan. Pengusaha bisa menurunkan harga agar bisa tetap meraih pembeli. Akan tetapi hal itu sulit dilakukan terus menerus karena akan semakin menekan margin keuntungan.
Demi mengimbangi kelesuan penjualan, para pengusaha akan menempuh efisiensi. Mulai dari mengurangi produksi, menunda investasi dan ekspansi, menunda pengajuan utang baru, memangkas biaya-biaya tetap, sampai mengurangi tenaga kerja.
Efek dari langkah-langkah itu bisa berbahaya pada perekonomian secara keseluruhan. Pengurangan produksi membuat usaha di hulu makin tertekan. Penundaan investasi dan ekspansi akan berdampak pada pasar keuangan dan perbankan.
Gejala itu sudah banyak terlihat. Kredit menganggur di bank (undisbursed loan) makin menumpuk saat ini. Data terakhir yang dilansir oleh Otoritas Jasa Keuangan mencatat, periode Juli 2024 nilai undisbursed loan naik 6,89% year-on-year atau senilai Rp2.158,25 triliun. Dibanding bulan sebelumnya, kredit mubazir itu naik 0,28%.
Sementara gelombang PHK yang makin besar disinyalir sebagai indikasi penyesuaian dunia usaha akan kondisi kelesuan saat ini.
Jumlah kasus PHK selama Januari hingga Agustus 2024 telah menembus 46.240 orang. Angka itu naik 23,7% dibanding periode yang sama tahun lalu.
PHK yang makin banyak berlangsung seiring aktivitas manufaktur yang makin lesu. Tiga bulan terakhir, manufaktur RI terkontraksi, salah satunya akibat permintaan domestik yang lemah ditambah ekspor yang juga lesu darah.
Secara keseluruhan, deflasi berkepanjangan dapat menciptakan lingkaran setan di mana penurunan harga akan mengurangi pendapatan dan pengeluaran. Hal itu pada gilirannya akan semakin memperburuk deflasi.
Penting bagi para pembuat kebijakan, yakin pemerintah dan bank sentral memonitor dan mengatasi deflasi melalui kebijakan moneter dan fiskal yang tepat.
(rui/aji)