Menurut data terakhir Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), total ekspor CPO dan produk turunannya mengalami penurunan menjadi 2,24 juta ton pada Juli 2024 dari 3,38 juta ton bulan sebelumnya, atau turun sebesar 1,14 juta ton, setelah naik pada sebelumnya dengan 1,42 juta ton.
Di samping itu, harga minyak nabati dunia, khususnya minyak kedelai atau soybean oil, makin kompetitif sehingga menggerus permintaan terhadap minyak sawit.
Namun, Mardyana menekankan bahwa CPO adalah produk yang lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan minyak lainnya. Produk seperti 'minyak organik', menurutnya, hanya bisa dipanen sekali dan harus ditanam kembali. Sebaliknya, CPO memiliki siklus produksi yang lebih berkelanjutan.
"Kita perangi [stigma negatif terhadap sawit] itu melalui BPDBKS [Badan Pengelolaan Dana Kelapa Sawit], dia juga melakukan penelitian dan sebenarnya perbaikan-perbaikan sehingga mengurangi deforestasi," tegasnya.
"Sepertinya kalau secara penelitian juga, kandungannya juga lebih bagus kalau CPO itu, tetapi ya memang kita kalah bersaing dengan negara-negara yang memberikan black campaign ya terhadap CPO," sambungnya.
Indonesia memang telah lama menjadi salah satu negara yang paling vokal dalam menentang UU Antideforestasi Uni Eropa lantaran dinilai memberatkan dan berpotensi 'mematikan' berbagai lini industri perkebunan; mulai dari kelapa sawit, kopi, hingga kakao.
Meskipun menyatakan menolak pemberlakuan UU Anti Deforestasi Eropa, tetapi Indonesia, kata Mardyana juga terus berupaya untuk mempersiapkan langkah-langkah strategis menyesuaikan diri dengan persyaratan EUDR tanpa mengabaikan negosiasi untuk mengurangi dampaknya.
"Bukan berarti menolak itu dengan tinggal diam, kita mempersiapkan diri, menyesuaikan untuk bisa mengikuti apa itu EUDR, yang dipersyaratkan EUDR, yang sesuai dengan kemampuan kita tentunya, tetapi kita tetap bernegosiasi supaya kebijakan itu tidak terjadi," tuturnya.
Sekadar catatan, pada Juli 2024 berdasarkan negara tujuannya, penurunan ekspor CPO terbesar terjadi untuk tujuan India yang turun 490.000 ton secara bulanan menjadi 293.000 pada Juli, diikuti oleh China yang turun 255.000 ton menjadi 488.000 ton.
Ekspor CPO tujuan Uni Eropa juga mengalami kemerosotan sebesar 77.000 ton menjadi 198.000 ton pada Juli.
EUDR menjadi momok bagi ekspor komoditas Indonesia karena mempengaruhi produk perdagangan Indonesia. Regulasi yang baru itu mengatur dengan ketat soal kenihilan soal persinggungan penebangan hutan dengan produk tertentu.
Uni Eropa menyepakati aturan ini sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi hutan dunia. Untuk itu, produk yang masuk ke Uni Eropa harus dipastikan bebas dari deforestasi dan tidak mempengaruhi kelestarian hutan.
Namun, Komisi Eropa pada Rabu (2/10/2024) akhirnya tergerak untuk mengajukan usulan penundaan EUDR selama 12 bulan, dengan tunduk pada tekanan besar dari negara-negara penghasil komoditas dan industri.
Proposal penundaan tersebut akan memerlukan persetujuan dari Parlemen Eropa dan negara-negara anggota, karena peraturan EUDR tersebut sedianya dijadwalkan mulai berlaku pada 30 Desember.
"Komisi mengakui bahwa tiga bulan sebelum tanggal penerapan yang dimaksudkan, beberapa mitra global telah berulang kali menyatakan kekhawatiran tentang tingkat kesiapan mereka," kata komisi tersebut dalam sebuah pernyataan.
"Tingkat persiapan di antara para pemangku kepentingan di Eropa juga tidak merata."
(prc/wdh)