Guncangan diplomatik ini mengancam upaya China yang menggambarkan diri sebagai pembawa damai dalam perang di Ukraina. Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Komisi Uni Eropa Ursula vonder Leyen, dan Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock telah berkunjung ke China dalam beberapa pekan terakhir.
Hal ini juga mendatangkan tanda tanya tentang inisiatif Macron untuk bekerja sama dengan China dalam pengembangan kreangka negosiasi Rusia-Ukraina, yang sebelumnya dilaporkan Bloomberg News, mengutip beberapa sumber.
Kementerian Luar Negeri Prancis menyebut tengah mempelajari komentar Lu dengan “penuh rasa kaget” dan menegaskan aneksasi Rusia terhadap Crimea sebagai sesuatu yang ilegal berdasarkan hukum internasional, demikian dilaporkan Dow Jones mengutip Juru Bicara Kementerian.
“Kami menegaskan solidaritas penuh dengan sukutu dan mitra kami yang khawatir, yang menantikan kemerdekaan setelah penindasan selama berabad-abad,” sebut Kementerian Luar Negeri Prancis.
Kedutaan Besar China di Prancis dan Kementerian Luar Negeri China tidak segera memberikan jawaban.
Menteri Luar Negeri Lituania Gabrielius Landsbergis dalam cuitan di Twitter menulis “inilah mengapa negara-negara Baltik tidak percaya dengan China sebagai penengah di Ukraina”.
Taiwan, yang mencari dukungan Eropa, mendukung posisi Lituania. Joseph Wu, Menteri Luar Negeri Taiwan, merespons cuitan Landsbergis dengan suara solidaritas.
Ini bukan kali pertama Lu mengundang kontroversi. Sang dubes menyebut perannya sebagai “serigala penyendiri”, merujuk kepada gaya diplomasinya yang percaya diri dan konfrontatif.
Tahun lalu, Lu menyebut warga Taiwan harus “dididik ulang” dan menyalahkan “kekuatan asing” yang menyulut aksi demonstrasi besar-besaran menolak kebijakan Covid-19 di China pada November 2022.
(bbn)