Tony menggarisbawahi persoalan yang dihadapi di Indonesia adalah konsumsi katoda tembaga yang kecil. Hal ini terjadi karena beberapa barang yang mengandung katoda tembaga justru masih diimpor dalam keadaan utuh.
Tony memberikan gambaran ducting dari AC masih diimpor dalam keadaan utuh, padahal memiliki kadar tembaga yang tinggi.
“Lalu ada beberapa cabling lainnya ya, contoh dalam satu unit electronic processor unit dari mobil, itu banyak kabelnya, tetapi mesti diimpor. Kalau itu diproduksi dalam negeri tentunya konsumsi katoda tembaga akan meningkat,” ujarnya.
Selain itu, katoda tembaga sebesar 10% juga dibutuhkan pada baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Dengan demikian, bila industri baterai EV di Indonesia bisa tumbuh dengan pesat, konsumsi katoda tembaga akan tinggi.
“Kalau seandainya PLN jadi membangun 47.000 kilometer jalur transmisi baru, dan menggunakan katoda tembaga dari dalam negeri, ini akan sangat pas untuk jalur transmisinya,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesia Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau mengatakan meskipun Indonesia mampu memproduksi katoda tembaga sebesar 1,2 juta ton hingga 1,3 juta ton, tetapi serapan dalam negeri hanya sebesar 250.000 ton.
“Sangat kecil, jadi ini adalah tantangan kita di depannya, tetapi juga menjadi peluang terbaik buat Indonesia,” ujarnya.
(dov/wdh)