Studi ini juga menyimpulkan bahwa kerugian selama lima tahun akan mencapai antara US$2,3 miiar dan US$8,3 miliar karena banyak sumber daya dan pekerja dengan keahlian yang pindah ke luar negeri, ditambah biaya proses penerapan kebijakan dan proses hukumnya.
Setelah UU ini diterapkan, Bank Dunia - pendukung terbesar pada anggaran Uganda - menghentikan pemberian pinjaman baru pada negara Afrika Timur itu karena aturan itu bertentangan dengan nilai Bank Dunia. Namun, bulan lalu Bank Dunia mengatakan sedang berkerja dengan pemerintah Uganda untuk mengembalikan pemberian pinjaman itu.
Amnesti International mengatakan hak-hak LGBTQ di Afrika semakin mendapat tekanan. Lebih dari 30 negara Afrika mengkriminalisasi hubungan seksual sejenis yang bersifat mau sama mau, dan sejumlah negara lain sedang mempertimbangkan langkah serupa.
Pada Juni, Mahkamah Konstitusi Malawi menegakkan aturan yang menyebut hubungan seksual sesama jenis sebagai prilaku pidana. Di Ghana pada Selasa (8/10/2024), ratusan warga turun ke jalan-jalan di Accra, menuntut pengadilan tertinggi negara itu mempercepat penerapan RUU anti-LGBTQ.
Open for Business mengatakan meski Uganda sudah mengalami kerugian cukup besar karena penerapan UU semacam itu, kerugian itu akan lebih besar jika tidak ada aturan itu tetap diberlakukan tanpa perubahan atau upaya mencabutnya.
"Ini adalah langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan Uganda agar perekoniman bisa bertahan di masa depan sekaligus menciptakan negara yang lebih layak huni bagi semua warga, tidak hanya bagi kelompok LGBTQ+," tulis Open for Business.
(bbn)