Logo Bloomberg Technoz

Pandangan masyarakat yang terpotret dari hasil survei terbaru itu sepertinya tidak berlebihan bila melihat data statistik. Mengacu data Badan Pusat Statistik, selama periode 2019-2024, hanya tercipta 2,01 lapangan kerja di sektor formal. Anjlok tajam dari periode 2014-2019 di mana tercipta 8,55 juta lapangan kerja baru. 

Faktor pandemi yang meletus pada periode lima tahun kedua memang sangat signifikan memicu lonjakan angka pengangguran. Alhasil, bila menghitung rentang pascapandemi hingga data terakhir tahun ini, memakai data Sakernas Agustus 2021 dibanding Februari 2024, penciptaan lapangan kerja di sektor formal tercatat sebesar 5,26 juta orang. 

Pertumbuhan lapangan kerja di Indonesia melambat (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Meski begitu, ketersediaan lapangan kerja layak masih terbatas sampai hari ini. Bahkan, gelombang PHK makin tinggi.

Per Februari lalu, terdapat 7,2 juta orang Indonesia berstatus Pengangguran Terbuka. Sebanyak 12,11 juta orang berstatus Setengah Pengangguran, yaitu mereka yang hanya bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan saat ini masih mencari pekerjaan tambahan atau lebih layak.

Sementara sebanyak 9,9 juta anak muda atau Gen Z (kelahiran 1997-2012), terindikasi tidak memiliki aktivitas produktif. Angka itu setara 22,25% dari total populasi anak muda di Indonesia sebesar 44,47 juta per Agustus 2023.

Hampir 10 juta anak muda itu tergolong NEET atau Not in Employment, Education and Training, alias tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak sedang mengikuti pelatihan, seperti dilansir oleh BPS. 

Pada saat yang sama, laporan Kementerian Ketenagakerjaan memperlihatkan kenaikan tren PHK. Jumlah kasus PHK selama Januari hingga Agustus 2024 telah menembus 46.240 orang. Bila dibandingkan periode Januari-Agustus 2023, angka PHK sepanjang tahun ini sudah melesat 23,7%.

Data PHK itu baru sebatas memotret kasus PHK 'resmi' yang dilaporkan. Namun, ia belum menangkap fenomena pensiun dini yang banyak terjadi terdorong upaya efisiensi perusahaan. Juga, belum memotret tren pengunduran diri karena kontrak kerja tidak lagi diperpanjang. Keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) ditengarai semakin mempermudah perusahaan dalam memutuskan hubungan kerja dengan para pekerja.

Data penciptaan lapangan kerja yang masih seret kala PHK terus meningkat di tengah tingginya pengangguran usia muda, terdengar kontras dengan klaim Menteri Keuangan Sri Mulyani pekan lalu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani tak kuasa menahan tangis dalam rapat kerja terakhir bersama Badan Anggaran DPR-RI pada 17 September lalu (Tangkapan layar Youtube)

Sri Mulyani menyebut, telah terjadi penciptaan lapangan kerja sebanyak 11 juta pekerjaan dalam tiga tahun terakhir. 

Bila yang dimaksud adalah lapangan kerja formal, klaim itu menuai keraguan.

BPS mencatat, pada akhir 2020 (data Sakernas Agustus) total lapangan kerja formal mencapai 56,99 juta orang. Sedangkan pada 2021, jumlahnya 53,14 juta orang. Dibandingkan dengan data terakhir tahun ini, jumlah pekerja sektor formal di Indonesia hanya bertambah 1,41 juta bila dibanding data 2020 dan cuma bertambah 5,26 juta dibanding akhir 2021.

Angka 11 juta yang disebut Bendahara Negara, ditengarai keluar dari penambahan jumlah total angkatan kerja pada akhir 2020 dibandingkan data Sakernas terbaru tahun ini.

Pada akhir 2020, jumlah angkatan kerja di Indonesia adalah sebesar 138,22 juta terdiri atas 128,45 juta orang Bekerja dan 9,77 juta orang Pengangguran Terbuka. Sementara pada 2024, total angkatan kerja mencapai 149,38 juta orang terdiri atas 7,2 orang Pengangguran Terbuka dan 142,18 juta orang Bekerja. 

Jadi dalam tiga tahun terakhir, jumlah angkatan kerja di Indonesia bertambah 11,16 juta orang.

Penting untuk dicermati kondisi struktur orang bekerja di Indonesia yang malah lebih buruk selama periode tersebut. Meski pada periode itu total Pengangguran Terbuka turun baik jumlah maupun proporsinya, akan tetapi jumlah orang Indonesia yang berstatus Pekerja Paruh Waktu dan Setengah Pengangguran malah semakin banyak.

Pada akhir 2020, total penduduk bekerja yang berstatus sebagai Pekerja Paruh Waktu dan Setengah Pengangguran mencapai 46,4 juta orang. Sementara pada 2024, angkanya melonjak jadi 49 juta orang.

Pekerja Paruh Waktu adalah mereka yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu dan tidak mencari pekerjaan baru atau tambahan, dahulu dikenal dengan istilah Pengangguran Sukarela. Sementara kategori Setengah Pengangguran adalah mereka yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu dan saat ini masih mencari pekerjaan baru atau pekerjaan lebih layak. 

Dengan kata lain, dalam tiga tahun terakhir terindikasi makin banyak pekerja di Indonesia yang berstatus Pengangguran Sukarela dan Setengah Pengangguran.

Menkeu yang berdinas di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak 2016 itu melihat, ada kecenderungan investasi asing (PMA) yang masuk belakangan banyak menyasar sektor hilirisasi yang padat modal sehingga tidak banyak menyerap tenaga kerja baru. 

Ia menyoroti kemunculan kesempatan kerja baru di sektor ekonomi digital seperti kemunculan segmen pekerjaan ojek atau kurir online. "Another thing adalah juga munculnya kesempatan kerja baru karena sektor digital seperti Gojek dan lain-lain, itu muncul sebagai suatu phenomenal reason. Jadi kita harus melihat ekonomi Indonesia mengalami perubahan karena berbagai faktor," kata Sri Mulyani di kantornya kala itu.

Ojol Bukan Pekerjaan Formal

Banyaknya orang yang menjadi ojek online dalam beberapa tahun terakhir juga sulit disebut sebagai keberhasilan penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Sebaliknya, itu menjadi salah satu indikator paling jelas kegagalan penciptaan lapangan kerja yang layak di negeri ini.

Data terakhir yang pernah dilansir oleh asosiasi ojol, jumlah ojek online di Indonesia telah mencapai 4 juta orang. Menilik karakteristiknya, ojek ataupun kurir online bukanlah termasuk pekerjaan formal.

Sebaliknya, ojol adalah jenis pekerjaan informal karena pekerjanya dituntut menyediakan modal kerja sendiri (sepeda motor, telpon seluler, BBM, dan sebagainya). Para ojol juga tidak memiliki gaji tetap, tidak ada jenjang karir, ataupun perlindungan sosial seperti jaminan pensiun atau asuransi kesehatan.

Sebelum booming ojol, masyarakat sudah akrab dengan profesi ojek konvensional alias ojek pangkalan. Itupun jarang yang menjadikannya sebagai pekerjaan utama. Menjadi ojek lebih sering menjadi kerja sampingan saja. 

Malah dengan kini profesi ojek telah 'berkawin' dengan teknologi berwujud aplikasi on-demand, driver ojol di Indonesia justru ditengarai banyak yang tereksploitasi dalam model kemitraan semu.

Para ojek online rentan tereksploitasi dalam skema kemitraan semu, minim perlindungan sosial (Dimas Ardian/Bloomberg)

Mengutip riset yang dilansir oleh Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (IGPA) pada Desember lalu, mendapati, pendapatan bersih para pekerja gig economy seperti ojol di kawasan Jabodetabek tak sampai 40% dari tingkat Upah Minimum Provinsi tahun 2021 saat kajian dilakukan.

Pendapatan bersih yang minim itu karena banyak tersedot pengeluaran ongkos sarana kerja mulai sepeda motor, BBM, hingga pengeluaran sarana komunikasi seperti internet dan pulsa agar tetap bisa menjaring pelanggan.

Para ojol dan kurir yang berjibaku menyediakan modal kerja sendiri, pada saat yang sama tidak mendapatkan perlindungan kesejahteraan yang lazim diberikan di sektor formal.

Posisi penyedia platform menjadi jauh lebih dominan karena risiko bisnis lebih banyak ditanggung oleh para ojol dan kurir. Bila ojol sakit, maka ia terancam tidak memiliki pendapatan.

Ada beberapa kasus di mana seorang ojol meninggal dunia ketika bekerja karena terpaksa tetap 'narik' meski kondisinya sakit demi bisa mendapatkan rupiah. 

"Dominasi tersebut dimungkinkan karena adanya ketergantungan pekerja terhadap pekerjaan dari platform, sebagai akibat dari sempitnya lapangan kerja layak, banyaknya surplus populasi relatif, dan pembiaran dari pemerintah terhadap praktik kemitraan semu," demikian dilansir oleh riset.

Membludaknya masyarakat yang banting setir menjadi ojek atau kurir online, belum lagi kemunculan berbagai usaha mikro dan kecil, bukanlah sebuah prestasi yang layak dibanggakan para pembuat kebijakan.

Makin dominannya sektor informal di sebuah perekonomian, justru menjadi cermin kegagalan penciptaan lapangan kerja yang layak bagi warga.

"Negara-negara dengan pendapatan tinggi cenderung memiliki tingkat selfemployment [pekerja informal] yang lebih rendah. Karena lebih banyak pekerja yang dapat bekerja di lapangan usaha formal," tulis riset SMERU Research Institute tahun lalu.

Pemerintah terpilih sebaiknya bergegas merumuskan kebijakan lebih strategis agar penciptaan lapangan kerja formal bisa digeber lebih banyak. Tren penurunan penyerapan tenaga kerja dalam 10 tahun terakhir perlu dihentikan.

Membiarkan penduduk usia bekerja berjibaku mencari pekerjaan yang layak tanpa bantuan kebijakan yang berpihak, bisa menjadi 'bom waktu' yang dapat menyeret kondisi perekonomian semakin buruk ke depan.

-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.

(rui/aji)

No more pages