Ketika itu dilakukan, produsen biasanya akan mengimbangi dengan langkah efisiensi agar tekanan pada margin bisa ditahan. Efisiensi bisa ditempuh melalui pengurangan stok, pengurangan produksi hingga pengurangan tenaga kerja.
Situasi itu bila dibiarkan bisa memperpanjang lingkaran setan deflasi yang bisa memicu kemerosotan ekonomi lebih serius. Deflasi lima bulan terakhir menjadi yang terpanjang sejak era krisis moneter 1998-1999 silam ketika perekonomian mencatat deflasi beruntun dalam tujuh bulan.
Melansir lebih detil laporan Survei Konsumen, terlihat bahwa hampir semua kelompok konsumen mencatat penurunan optimisme akan kondisi perekonomian ke depan. Sebagian karena skeptis akan ketersediaan lapangan kerja. Sebagian lagi karena dilatarbelakangi oleh kondisi penghasilan yang memburuk saat ini dan dinilai akan makin buruk ke depan.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun terdalam dicatat oleh konsumen kelas atas dengan pengeluaran di atas Rp5 juta, dengan penurunan hingga 4,6 poin, disusul oleh konsumen menengah bawah dan bawah dengan tingkat pengeluaran masing-masing Rp2,1 juta-Rp3 juta dan Rp1 juta-Rp2 juta.
Untuk diketahui, Indeks Keyakinan Konsumen terdiri atas dua komponen yakni Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). Tiap indeks terdiri atas subkomponen. Di mana IKE terdiri atas Indeks Penghasilan Saat Ini, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja dan Indeks Pembelian Barang Tahan Lama.
Sementara IEK terdiri atas subkomponen Indeks Ekspektasi Penghasilan, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja dan Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha.
Berikut ini kesimpulan-kesimpulan utama dari laporan Survei Konsumen September:
Indeks Kondisi Ekonomi
Konsumen dengan pengeluaran terbanyak di atas Rp5 juta mencatat penurunan IKE terdalam, hingga 6,3 poin. Disusul oleh konsumen kelas bawah dengan pengeluaran antara Rp1 juta-Rp2 juta.
Sementara konsumen kelas menengah dengan pengeluaran Rp3,1 juta-Rp5 juta masih menilai kondisi ekonomi saat ini masih baik dibanding enam bulan lalu, terindikasi dengan IKE yang meningkat.
Penurunan persepsi akan kondisi ekonomi saat ini di kalangan konsumen atas dan bawah, terutama adalah karena kondisi penghasilan saat ini yang dinilai lebih buruk. Konsumen kelas atas turun 4,9 poin indeksnya, sedang konsumen bawah turun 2,7 poin.
Bukan hanya itu, persepsi akan ketersediaan lapangan kerja saat ini di dua kelas konsumen itu juga anjlok tajam. Konsumen kelas atas mencatat penurunan indeks ketersediaan lapangan kerja hingga 9,4 poin. Sedangkan konsumen kelas bawah turun sampai 7,5 poin.
Bahkan indeks ketersediaan lapangan kerja konsumen kelas bawah saat ini sudah di bawah level 100, yang menunjukkan ada di zona pesimistis. Indeks di atas 100 berarti di level optimistis.
Sementara subkomponen indeks pembelian barang tahan lama, tercatat paling anjlok di kalangan konsumen atas dan kelas bawah. Indeks ini mencerminkan tingkat pembelian akan barang tahan lama (durable goods) atau nonmakanan, yang menurun.
Hal itu bisa menjadi alarm bagi para peritel. Yakni, ketika para konsumen dengan kekuatan daya beli terbesar dan terbawah tidak tergerak untuk belanja barang nonmakanan, ada dua kemungkinan. Bisa karena kalangan ini menahan belanja karena berhemat atau tegnah menghadapi penurunan penghasilan.
Bila mengaitkan dengan indeks penghasilan saat ini yang juga turun, besar kemungkinan keengganan membeli barang tahan lama lebih karena kondisi penghasilan saat ini yang memburuk.
Indeks Ekspektasi Konsumen
Lantas, bagaimana persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan? Bila melihat Indeks Ekspektasi Konsumen, terlihat bahwa yang mencatat penurunan terdalam adalah kelompok konsumen menengah bawah dengan pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta, anjlok hingga 6,9 poin ke level terendah dalam tiga bulan terakhir.
Konsumen kelas terbawah juga turun banyak 3,1 poin, disusul oleh kelas menengah atas dan kelas atas masing-masing turun 2,5 poin dan 2,9 poin.
Sementara satu-satunya yang masih lebih optimistis memandang kondisi perekonomian enam bulan ke depan adalah konsumen menengah dengan pengeluaran antara Rp3,1 juta-Rp4 juta, dengan kenaikan indeks 2,7 poin.
Apabila melihat lebih dalam dinamika indeks yang menjadi subkomponen, terlihat bahwa yang membuat optimisme mayoritas konsumen menurun adalah karena keyakinan yang anjlok akan ketersediaan lapangan kerja ke depan dan kegiatan dunia usaha.
Kelompok konsumen dengan nilai pengeluaran terbawah di bawah Rp2 juta dan menengah bawah yakni antara Rp2,1 juta-Rp3 juta, adalah yang paling menurun optimismenya akan ketersediaan lapangan kerja ke depan. Indeks ketersediaan lapangan kerja dua kelompok itu anjlok tajam, masing-masing 9,2 poin dan 9,6 poin.
Begitu juga konsumen teratas yang turun 1,5 poin. Sementara konsumen menengah dengan pengeluaran Rp3,1 juta-Rp5 juta, masih naik optimismenya akan ketersediaan lapangan kerja di masa mendatang.
Indeks ekspektasi kegiatan usaha juga anjlok terutama di kelompok konsumen menengah bawah, menengah atas dan atas.
Dua indeks itu sepertinya mempengaruhi ekspektasi akan kondisi penghasilan ke depan.
Kelompok konsumen menengah bawah dan terbawah, muncul sebagai kalangan dengan penurunan optimisme terbesar perihal kondisi penghasilan ke depan.
Indeks ekspektasi penghasilan kelompok tersebut turun masing-masing 3,1 poin dan 2,9 poin. Sementara kelompok menengah atas dan konsumen atas turun lebih sedikit 1,7 poin dan 1,1 poin.
Proporsi pengeluaran
Melihat perkembangan proporsi pengeluaran konsumen di Indonesia, terlihat bila alokasi pengeluaran untuk konsumsi meningkat pada September menjadi 74,1%, naik 0,6 poin persentase dibanding bulan sebelumnya.
Pada saat yang sama, alokasi pengeluaran untuk cicilan utang dan tabungan sama-sama menurun masing-masing 0,3 poin persentase dan 0,4 poin persentase.
Kenaikan persentase pengeluaran untuk konsumsi terbesar dicatat oleh kelas konsumen terbawah dengan kenaikan 2,5 poin persentase. Indikasi 'makan tabungan' terlihat di kelompok ini ketika pada saat yang sama alokasi untuk tabungan kelompok ini turun 2,5 poin persentase juga.
Indikasi 'makan tabungan' juga terlihat di konsumen menengah dengan pengeluaran antara Rp4,1 juta-Rp5 juta. Alokasi tabungan kelompok ini turun 1,8 poin persentase. Pada saat yang sama, kelompok ini naik pengeluaran untuk konsumsi dan cicilan utang.
Sementara kenaikan alokasi pengeluaran untuk cicilan utang dicatat terbesar oleh konsumen menengah dengan pengeluaran Rp3,1 juta-Rp5 juta.
(rui)