Lanskap tersebut sulit memberikan peluang bagi rupiah. Mata uang Indonesia di pasar spot hari ini kemungkinan akan kembali terjungkal mendekati Rp15.700/US$, level psikologis yang sepertinya dijaga oleh Bank Indonesia agar tak sampai jebol kemarin dengan mengintervensi besar-besaran di pasar spot, forward juga di pasar obligasi negara.
Pelaku pasar menjual obligasi negara dan saham-saham perbankan kemarin, memberi tekanan lebih besar pada rupiah. Gelombang jual yang sepertinya akan kembali berlanjut hari ini menyusul arus jual yang di pasar obligasi global seiring lonjakan imbal hasil surat utang AS. Sementara tekanan di ekuitas akan datang dari negeri berukuran ekonomi terbesar kedua di dunia, Tiongkok.
Bank Indonesia kemungkinan akan kembali mengintervensi pasar spot, domestic NDF juga pasar obligasi negara untuk mencegah pemburukan rupiah yang terlalu cepat. Level psikologis akan dijaga di kisaran Rp15.700-Rp15.800/US$.
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi melanjutkan tren pelemahan, setelah kemarin terkontraksi dengan cepat break support kuat dari MA-50. Koreksi rupiah hari ini menuju area Rp15.700 sampai dengan support Rp15.750/US$.
Trendline channel sebelumnya jebol dan tertembus, saat ini menjadi level resistance terdekat pada Rp15.650/US$.
Apabila pelemahan kembali berlanjut dengan tekanan dan volume yang tinggi, ada trendline garis kuning dan MA-200 pada level Rp15.800/US$ akan menjadi support paling krusial, bersama dengan Rp15.810/US$.
Sementara bila terjadi penguatan, ada level resistance di Rp15.600-Rp15.550/US$.
China 'bangun' lagi
Hari ini, pasar modal China kembali dibuka setelah libur panjang Golden Week. Sebelum libur itu dimulai awal bulan lalu, bursa saham China melompat tajam hingga 10% menyusul euforia pasar global menyambut rencana stimulus besar-besaran yang disiapkan oleh otoritas setempat untuk mengungkit ekonomi.
Paket stimulus itu mengangkat saham-saham China sehingga terindikasi dana global tersedot ke Negeri Panda, termasuk dana asing di pasar domestik. Alhasil, sentimen China bisa semakin memberatkan kontes perebutan modal global di banyak negara.
Indonesia dalam posisi membutuhkan dana asing lebih banyak seperti yang terjadi pada Agustus-September lalu hingga bisa mengangkat nilai rupiah lebih kuat. Namun, arah angin sepertinya sudah berbalik. Sentimen China ditambah pupus harapan akan penurunan bunga acuan AS lebih banyak di sisa tahun, menjadi kombinasi yang buruk bagi pamor aset-aset di Indonesia.
Mengacu data Bloomberg sampai 7 Oktober, posisi modal asing sudah mencatat net outflows senilai US$164,9 juta selama Oktober ini. Berkebalikan dengan bulan sebelumnya yang masih membukukan net inflows US$1,41 miliar dan senilai US$3,67 miliar selama kuartal III saja.
Hari ini, pembukaan lagi pasar China serta rencana konferensi pers tentang paket stimulus di negeri itu akan menjadi fokus utama pelaku pasar.
Sinyal hawkish The Fed
Pejabat The Fed, bank sentral AS, kembali melansir pernyataan yang cenderung hawkish.
Gubernur Federal Reserve Bank of St. Louis, Alberto Musalem, menyatakan, ia lebih menyukai penurunan suku bunga yang dilakukan secara bertahap ke depan.
"Mengingat kondisi ekonomi saat ini, saya melihat bahwa dampak penurunan suku bunga yang terlalu banyak dan terlalu cepat lebih besar dibandingkan dengan dampak penurunan yang terlalu sedikit dan terlalu lambat," kata Musalem dalam pidatonya pada acara Money Marketeers of New York University Inc, Senin.
Kemarin, data pinjaman konsumen AS memperlihatkan peningkatan pada bulan Agustus akan tetapi lajunya lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya. Terhambat oleh penurunan terbesar dalam saldo kartu kredit sejak Maret 2021.
Waspada harga minyak
Ketegangan di Timur Tengah belum mereda dan telah membawa harga minyak dunia semakin mahal. Harga minyak mentah jenis brent tadi malam melompat tajam 3,7% ke level US$80,93 per barel dan pagi ini masih bergerak di kisaran tersebut.
Begitu juga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) yang naik 3,71% ke level US$77,14 per barel. Kabar kenaikan harga minyak yang masih dihantui ancaman Israel yang berniat menghancurkan infrastruktur minyak Iran, bisa menjadi mimpi buruk bagi Indonesia sebagai negara pengimpor minyak.
Kombinasi harga minyak yang mahal, ditambah pelemahan rupiah, akan membuat anggaran negara jebol. Di tengah situasi daya beli masyarakat yang disinyalir melemah, terindikasi dari deflasi beruntun lima bulan terakhir, jebolnya anggaran yang bisa mengerek harga bahan bakar minyak bersubsidi adalah hal terakhir yang bisa dibayangkan akan terjadi.
(rui)