Bila terdapat risiko kenaikan harga energi dunia dan pemerintah tidak bisa menanggung kebutuhan tambahan beban subsidi karena keterbatasan fiskal, maka kepanikan berpotensi terjadi.
“Pemerintah akan gagap untuk melakukan keputusan apakah akan melakukan reformasi subsidi dalam waktu yang mendadak atau terpaksa harus menaikkan harga jual BBM subsidi pada tahun depan,” ujarnya.
Abra tidak menampik anggaran subsidi energi makin besar setiap tahunnya, tetapi pangsa (share) terhadap belanja pemerintah pusat terus menyusut selama pemerintahan Jokowi, yakni dari 10,1% pada 2015 menjadi hanya 7,6% pada 2024.
Dengan kata lain, ruang fiskal untuk mengantisipasi lonjakan harga minyak dunia juga makin terbatas.
Pengalaman 2022
Lebih lanjut, Abra mengatakan pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman pada 2022, saat perang antara Rusia dan Ukraina meletus dan menyebabkan lonjakan harga minyak mentah dunia menjadi pada level US$100/barel.
Kala itu, pemerintah masih memiliki fleksibilitas fiskal dan memutuskan untuk menambah subsidi dan kompensasi energi menjadi lebih dari Rp500 triliun untuk bisa meredam tingkat inflasi.
Sekadar catatan, pemerintah telah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 sebesar lebih dari 3 kali lipat, yaitu dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun pada 2022.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memproyeksikan rencana pengetatan pengguna BBM bersubsidi belum akan diterapkan pada 1 Oktober 2024
Menurut Bahlil, rencana untuk memperketat pengguna BBM bersubsidi tersebut masih dibahas hingga saat ini.
“Feeling saya belum [1 Oktober 2024], untuk BBM subsidi sampai sekarang kita masih bahas ya,” ujar Bahlil saat ditemui di kantornya, Jumat (20/9/2024).
(dov/wdh)