Antony Sguazzin, Ashleigh Furlong, Ondiro Oganga dan Desire Nimubona - Bloomberg News
Bloomberg, Menurut duta besar kesehatan pemerintah AS, infeksi virus Marburg pertama yang tercatat di Rwanda, demam berdarah yang mirip dengan Ebola, menandai bahwa wabah penyakit berbahaya yang ditularkan oleh hewan semakin sering terjadi di dunia yang semakin terhubung.
Kementerian Kesehatan Rwanda melaporkan setidaknya 11 orang telah meninggal akibat penyakit ini, yang dibawa oleh kelelawar rousette Mesir. Selain itu, 25 orang telah diisolasi sejak penyebaran dimulai di unit perawatan intensif di Kigali, ibu kota Rwanda. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika, kasus-kasus penyakit ini telah ditemukan di delapan dari 30 distrik di Rwanda.
Peningkatan frekuensi wabah zoonosis—penyakit yang berasal dari hewan dan menular ke manusia—telah diprediksi selama beberapa dekade, seiring dengan pertumbuhan populasi dan peningkatan transportasi.
"Ini adalah ketidakseimbangan ekologis di mana kita semakin bergerak ke area yang sebelumnya belum kita jamah," ujar John Nkengasong, pejabat senior AS untuk keamanan kesehatan global dan diplomasi, dalam sebuah wawancara di Pretoria, Afrika Selatan, pada Rabu (02/10/2024). "Ini mendorong kemunculan penyakit, dan kita sekarang menyaksikan bagaimana penyakit-penyakit ini muncul."
Nkengasong juga menyoroti frekuensi meningkatnya wabah Ebola sejak ditemukan pada tahun 1976 di Republik Demokratik Kongo, serta kemunculan sub-varian baru mpox di bagian timur negara itu dan di Burundi. Wabah Marburg di Rwanda adalah yang ke-14 yang pernah tercatat.
Marburg, yang juga dapat menginfeksi primata, menimbulkan gejala seperti demam, ruam, dan pendarahan hebat. Tingkat kematian akibat infeksi ini bisa mencapai lebih dari 80%.
Meskipun penyakit Marburg telah menyebabkan kematian, jumlahnya tetap lebih rendah dibandingkan dengan Ebola, yang menewaskan lebih dari 11.000 orang di Afrika Barat dalam wabah antara 2013 hingga 2016.
Marburg pertama kali diidentifikasi pada tahun 1967 ketika terjadi wabah bersamaan di Marburg, Jerman, dan Beograd, Serbia. Wabah tersebut melibatkan pekerja laboratorium yang menangani monyet hijau yang diimpor dari Uganda. Sejak itu, kasus infeksi manusia telah dilaporkan di beberapa negara Afrika, Rusia, dan Belanda. Kelelawar buah Mesir, yang tersebar luas di Afrika selatan, membawa virus ini, dan kadang-kadang menular ke manusia yang berinteraksi dengan mereka.
"Penyakit seperti Marburg tampaknya muncul lebih sering dan di lokasi-lokasi yang sebelumnya belum pernah terjadi," kata Mark Feinberg, CEO IAVI, sebuah lembaga nirlaba yang mengembangkan vaksin dan antibodi, yang saat ini sedang mengerjakan vaksin untuk Marburg.

Tidak Ada Pengobatan
Meskipun beberapa vaksin eksperimental sedang dikembangkan, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, belum ada pengobatan berlisensi untuk penyakit ini. Gilead Sciences Inc telah menyumbangkan 5.000 dosis antiviral Remdesivir dalam upaya mengatasi penyakit ini, kata Sabin Nsanzimana, Menteri Kesehatan Rwanda, dalam konferensi telepon dengan CDC Afrika pada Kamis (03/10/2024). Ia juga menyebutkan bahwa vaksin eksperimental akan segera diuji, tetapi menolak mengungkapkan produsennya.
"Sangat disayangkan bahwa masih ada kesenjangan dalam penelitian dan pengembangan," katanya. "Ini harus menjadi panggilan untuk bertindak."
Lockdown untuk mencegah penyebaran lebih lanjut saat ini tidak dianggap perlu, kata Nsanzimana dalam siaran televisi Rwanda sebelumnya. Jean Kaseya, kepala CDC Afrika, memperingatkan agar tidak menerapkan pembatasan perjalanan ke Rwanda.
"Kami akan menghentikan wabah ini sebelum menyebar ke wilayah lain, negara, atau bahkan lebih jauh lagi," ujar Nsanzimana. "Penyakit ini sangat agresif, menyerang sistem kekebalan dan merusak organ tubuh."
Burundi, negara tetangga Rwanda, telah meluncurkan kampanye kesiapsiagaan, meminta masyarakat untuk melaporkan setiap kasus yang dicurigai dan berencana untuk membahas potensi respons dengan WHO.
"Kita harus bersiap, mengingat ada kontak antarnegara melalui pergerakan orang antara Burundi dan Rwanda," kata Liduine Baradahana, Menteri Kesehatan Burundi, kepada wartawan di Bujumbura pada Kamis.
Meski Rwanda relatif memiliki infrastruktur kesehatan yang baik untuk menangani penyakit ini, tetangganya yang lebih miskin seperti Burundi dan Kongo mungkin tidak, kata Feinberg. "Rwanda memiliki sistem kesehatan publik yang sangat mumpuni," katanya. "Namun, jika wabah ini menyebar ke Republik Demokratik Kongo, situasinya bisa berubah dengan cepat dalam beberapa hari atau minggu mendatang."
(bbn)