Logo Bloomberg Technoz

Curah hujan yang memecahkan rekor pada bulan September memaksa hampir 3 juta orang meninggalkan rumah mereka dan menewaskan 1.000 orang di wilayah Sahel Afrika. Banjir juga memicu evakuasi massal serta penutupan pelabuhan di sekitar kota megapolis Shanghai. Eropa Tengah mengalami beberapa banjir terparah dalam beberapa tahun akibat Badai Boris, yang menyebabkan kerugian asuransi antara €2 miliar hingga €3 miliar. Lebih dari 200 orang tewas di Nepal sejak akhir September akibat banjir yang merusak jalan dan bangunan. Di AS, Badai Helene menyebabkan banjir bersejarah di Tenggara, menewaskan setidaknya 166 orang, dengan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai US$160 miliar, menjadikannya salah satu badai termahal dalam sejarah AS.

Meskipun angka kematian akibat bencana alam cenderung lebih rendah di negara-negara kaya, banjir yang tidak terduga tetap membuat banyak negara tidak siap. Pada 2021, setidaknya 220 orang meninggal di Jerman akibat hujan lebat dan banjir, yang menurut para peneliti lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim.

Wilayah-wilayah seperti Asia Selatan, yang sudah lama akrab dengan curah hujan ekstrem, juga menghadapi kesulitan. Pada akhir Juli, tanah longsor menewaskan lebih dari 300 orang di distrik Wayanad, negara bagian Kerala, India Selatan, setelah hujan deras menghantam perbukitannya selama berjam-jam. Di pegunungan utara India, tanah longsor yang disebabkan oleh kondisi cuaca serupa menewaskan puluhan orang.

Apa yang menyebabkan curah hujan semakin sering dan intens?

Dalam ulasan terbarunya, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menemukan bahwa pemanasan global mempercepat siklus air planet ini, menyebabkan cuaca yang semakin ekstrem.

Konsentrasi gas rumah kaca yang tinggi di atmosfer menyebabkan suhu naik baik di darat maupun di laut. Lautan yang lebih hangat menguapkan lebih banyak kelembapan ke udara, membentuk awan tebal yang bisa menghasilkan hujan lebat dalam waktu singkat. Kadang-kadang, jumlah hujan yang biasanya turun dalam satu atau dua hari bisa turun hanya dalam hitungan jam.

Menurut Deborah Brosnan, seorang ilmuwan kelautan dan iklim, udara yang lebih hangat bisa menampung lebih banyak kelembapan, rata-rata 7% lebih banyak untuk setiap kenaikan suhu 1°C. "Dengan suhu global sekarang 1,2°C lebih tinggi, curah hujan ekstrem telah meningkat sekitar 8%," jelasnya.

Mengapa curah hujan ekstrem menjadi lebih mematikan?

Banyak pemukiman di negara industri maupun berkembang tidak dirancang untuk menahan curah hujan intens yang dipicu perubahan iklim. Korban sering kali tidak tenggelam, melainkan terkubur di bawah lumpur dari bukit yang tidak mampu menyerap hujan deras. Rumah-rumah yang runtuh juga memakan banyak korban.

Hujan deras juga memperburuk dampak perubahan iklim lainnya, yang membuat kota-kota dan lahan pertanian lebih rentan. Sebuah studi yang memetakan titik-titik rawan iklim di India menemukan bahwa daerah yang rentan terhadap gelombang panas sering kali juga mengalami hujan lebat. Tanah yang kering akibat panas berkepanjangan menjadi lebih padat, sehingga sulit menyerap air hujan, memperburuk risiko banjir.

Tanah yang basah juga bisa memperkuat badai. Para ilmuwan menyebut fenomena ini, di mana tanah yang jenuh air dapat mempengaruhi badai seperti permukaan laut, sebagai "efek laut coklat," yang diidentifikasi sebagai salah satu alasan mengapa Badai Helene begitu merusak.

Dapatkah ilmu iklim membantu masyarakat menghadapi cuaca ekstrem?

Kemajuan dalam ilmu iklim memungkinkan penilaian akurat tentang peran perubahan iklim dalam peristiwa cuaca ekstrem dan memodelkan pola curah hujan di masa depan. Ini membantu pemerintah di daerah rawan banjir lebih siap. Namun, kemampuan masyarakat untuk bertahan masih sangat bergantung pada faktor lokal seperti erosi tanah, deforestasi, kekuatan infrastruktur, dan tingkat kemiskinan.

Belum ada basis pengetahuan terpadu yang mencakup semua faktor ini untuk mengidentifikasi area dengan risiko tertinggi.

Siapa yang akan menanggung dampak cuaca ekstrem ini?

Dengan meningkatnya risiko terkait pemanasan global, beberapa pemerintah dan pelaku bisnis, terutama di Asia dan Afrika, sedamh menjajaki produk keuangan baru untuk menanggung biaya pemulihan. Salah satunya adalah asuransi parametrik, yang memberikan pembayaran berdasarkan ukuran kejadian, bukan kerugian. Seperti halnya polis asuransi terkait cuaca tradisional.

Obligasi bencana, yang dibayarkan setelah deklarasi bencana alam, juga semakin populer. Menurut CME Group, volume perdagangan untuk "derivatif cuaca" melonjak lebih dari 260% pada 2023, menunjukkan minat yang tinggi terhadap solusi finansial ini.

Bagaimana ancaman dari curah hujan ekstrem berkembang?

Para ilmuwan khawatir bahwa model mereka mungkin meremehkan dampak pemanasan global terhadap curah hujan ekstrem, terutama di daerah tropis. IPCC mengidentifikasi Afrika, Asia, Amerika Utara, dan Eropa sebagai wilayah yang paling terancam.

Selain kerusakan dan hilangnya nyawa, hujan berlebih dapat mengganggu produksi pangan, mempercepat erosi tanah, dan mengurangi nutrisi penting untuk pertanian. Studi menunjukkan bahwa erosi tanah global bisa meningkat hingga 35% pada tahun 2070.

Bahkan setelah hujan berhenti, banjir tetap menjadi ancaman kesehatan dengan potensi penyebaran penyakit seperti kolera dan malaria. IPCC memperingatkan bahwa peristiwa banjir akan menjadi lebih sering saat planet ini mendekati ambang 1,5°C pemanasan global, menekankan pentingnya rencana aksi kesehatan yang lebih baik, yang mencakup distribusi vaksin hingga peningkatan akses ke air minum.

(bbn)

No more pages