Nkengasong juga menyoroti frekuensi meningkatnya wabah Ebola sejak ditemukan pada tahun 1976 di Republik Demokratik Kongo, serta kemunculan sub-varian baru mpox di bagian timur negara itu dan di Burundi. Wabah Marburg di Rwanda adalah yang ke-14 yang pernah tercatat.
Marburg, yang juga dapat menginfeksi primata, menimbulkan gejala seperti demam, ruam, dan pendarahan hebat. Tingkat kematian akibat infeksi ini bisa mencapai lebih dari 80%.
Meskipun penyakit Marburg telah menyebabkan kematian, jumlahnya tetap lebih rendah dibandingkan dengan Ebola, yang menewaskan lebih dari 11.000 orang di Afrika Barat dalam wabah antara 2013 hingga 2016.
Marburg pertama kali diidentifikasi pada tahun 1967 ketika terjadi wabah bersamaan di Marburg, Jerman, dan Beograd, Serbia. Wabah tersebut melibatkan pekerja laboratorium yang menangani monyet hijau yang diimpor dari Uganda. Sejak itu, kasus infeksi manusia telah dilaporkan di beberapa negara Afrika, Rusia, dan Belanda. Kelelawar buah Mesir, yang tersebar luas di Afrika selatan, membawa virus ini, dan kadang-kadang menular ke manusia yang berinteraksi dengan mereka.
"Penyakit seperti Marburg tampaknya muncul lebih sering dan di lokasi-lokasi yang sebelumnya belum pernah terjadi," kata Mark Feinberg, CEO IAVI, sebuah lembaga nirlaba yang mengembangkan vaksin dan antibodi, yang saat ini sedang mengerjakan vaksin untuk Marburg.
Tidak Ada Pengobatan
Meskipun beberapa vaksin eksperimental sedang dikembangkan, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, belum ada pengobatan berlisensi untuk penyakit ini. Gilead Sciences Inc telah menyumbangkan 5.000 dosis antiviral Remdesivir dalam upaya mengatasi penyakit ini, kata Sabin Nsanzimana, Menteri Kesehatan Rwanda, dalam konferensi telepon dengan CDC Afrika pada Kamis (03/10/2024). Ia juga menyebutkan bahwa vaksin eksperimental akan segera diuji, tetapi menolak mengungkapkan produsennya.
"Sangat disayangkan bahwa masih ada kesenjangan dalam penelitian dan pengembangan," katanya. "Ini harus menjadi panggilan untuk bertindak."
Lockdown untuk mencegah penyebaran lebih lanjut saat ini tidak dianggap perlu, kata Nsanzimana dalam siaran televisi Rwanda sebelumnya. Jean Kaseya, kepala CDC Afrika, memperingatkan agar tidak menerapkan pembatasan perjalanan ke Rwanda.
"Kami akan menghentikan wabah ini sebelum menyebar ke wilayah lain, negara, atau bahkan lebih jauh lagi," ujar Nsanzimana. "Penyakit ini sangat agresif, menyerang sistem kekebalan dan merusak organ tubuh."
Burundi, negara tetangga Rwanda, telah meluncurkan kampanye kesiapsiagaan, meminta masyarakat untuk melaporkan setiap kasus yang dicurigai dan berencana untuk membahas potensi respons dengan WHO.
"Kita harus bersiap, mengingat ada kontak antarnegara melalui pergerakan orang antara Burundi dan Rwanda," kata Liduine Baradahana, Menteri Kesehatan Burundi, kepada wartawan di Bujumbura pada Kamis.
Meski Rwanda relatif memiliki infrastruktur kesehatan yang baik untuk menangani penyakit ini, tetangganya yang lebih miskin seperti Burundi dan Kongo mungkin tidak, kata Feinberg. "Rwanda memiliki sistem kesehatan publik yang sangat mumpuni," katanya. "Namun, jika wabah ini menyebar ke Republik Demokratik Kongo, situasinya bisa berubah dengan cepat dalam beberapa hari atau minggu mendatang."
(bbn)