Pasalnya, praktik penghindaran tersebut akan merugikan Indonesia karena pajak yang seharusnya ditarik oleh Indonesia justru masuk ke negara asal perusahaan multinasional tersebut.
“Itu sama saja kita mensubsidi APBN negara lain. Itu kita tidak mau. Dan negara lain juga akan paham hal itu. Semua negara paham hal itu,” ucap Febrio.
Indonesia memiliki fasilitas pembebasan pajak atau tax holiday. Skema ini dinilai akan mengganggu penerapan pajak minimum global, sebab tarif perpajakan yang dikenakan pada perusahaan multinasional menjadi tidak memenuhi standar besaran pajak 15%.
Tax holiday adalah insentif pembebasan pajak yang diberikan untuk perusahaan yang baru dibangun selama periode tertentu.
Menanggapi itu, Febrio menyatakan skema tax holiday pada tahun mendatang dapat disesuaikan kembali. Sehingga dengan tarif Pajak Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar 22%, maka tax holiday yang ditawarkan dikurangi menjadi sekitar 7%.
“Jadi dengan demikian kalau untuk konteks Indonesia berarti kalau PPh Badan kita adalah 22% maka tax holiday-nya maksimum sampai 15%. Jadi kita bisa berikan 7%. 22% dikurang 15%,” jelasnya.
“Nah berarti untuk insentif yang selama ini sudah dinikmati, kita akan pikirkan untuk alternatifnya. Jadi bentuk insentif seperti apa yang akan kurang lebih bisa mengkompensasi yang 15%-nya,” lanjut Febrio.
Mengutip laman resmi Kemenkeu, Pilar Dua ini terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR).
Rencana tersebut ditujukan untuk perusahaan multinasional dengan dengan penerimaan diatas EUR750 juta.
(azr/lav)