“Seperti ditunjukan oleh defisit neraca anggaran primer, yang menyebabkan naiknya proporsi utang terhadap PDB,” tulis Deni dan Adinova.
CSIS menyatakan utang pemerintah dan BUMN cenderung berbiaya tinggi, dengan bunga kupon pada kisaran 7%.
Faktor itu, yang dinilai menjadi penyebab sebagian dari penerimaan negara justru dipergunakan untuk membayar bunga utang dan pada akhirnya harus mengurangi porsi untuk pengeluaran yang lainnya.
“Selain itu tingginya bunga juga menyebabkan tingginya biaya modal dan suku bunga di Indonesia, serta terjadinya efek crowding-out likuiditas dalam perekonomian Indonesia,” tulis Deni dan Adinova.
Sebelum itu, CSIS menyatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir pemerintah berhasil mempertahankan stabilitas makroekonomi dan disiplin fiskal yang terbilang baik, meski masih lebih rendah dibandingkan satu dekade sebelumnya.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sebesar 4,13 %, lebih baik dibanding banyak negara lain di dunia, tapi lebih rendah dibanding periode pemerintahan sebelumnya [sebesar] 5,72%,” jelasnya.
Adapun, pembangunan infrastruktur merupakan salah satu fokus pemerintah dalam sepuluh tahun terakhir. CSIS mencatat, pemerintah telah membangun 355 ribu kilometer jalan desa, 1,9 juta meter jembatan desa, 2.700 kilometer jalan tol baru, 6.000 kilometer jalan nasional.
Selanjutnya, 50 pelabuhan dan bandara baru , serta 43 bendungan dan 1,1 juta hektar jaringan irigasi baru.
“Berkat pembangunan infrastruktur yang masif tersebut, data Bappenas menunjukkan bahwa biaya logistik turun dari 24% pada 2020 menjadi 14% pada 2023,” kata Deni dan Adinova.
“Namun, pencapaian tersebut harus dibayar mahal secara ekonomi dan politik,” tegasnya.
(azr/lav)