Logo Bloomberg Technoz

Kemerosotan daya beli dicurigai sebagai salah satu penyebab mengapa dalam lima bulan terakhir, harga-harga terdeflasi. Kelas menengah terkikis kekuatan konsumsinya dan 'jatuh lebih miskin' ke kelas ekonomi di bawahnya.

Namun, yang menarik, di tengah berbagai data ekonomi yang cenderung suram, tiket-tiket konser musik artis mancanegara maupun lokal yang dilego seharga jutaan rupiah, hampir selalu laris manis.

Begitu juga, antrian panjang pemburu boneka viral Labubu -boneka yang harganya bisa puluhan juta rupiah- beberapa waktu lalu, seakan menjadi anomali di tengah banyak antrian para pencari kerja di warung makan, juga kesaksian para pelaku UKM mengeluhkan dagangannya sepi, serta kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan pekerja yang terus bermunculan.

Bila ekonomi memang tengah lesu, mengapa konser artis yang digelar berhari-hari dengan harga tidak murah itu bisa habis terjual? Festival musik dipadati pengunjung, juga antrian pembelian Labubu mengular begitu panjang di mal kelas atas, benarkah sekadar pergeseran fokus belanja masyarakat ke hal-hal tersier?

Di luar isu tentang kesenjangan ekonomi yang masih tinggi di Indonesia, dua fenomena yang bertolak belakang itu mungkin bisa dijelaskan dengan istilah: "Lipstick Effect".

Larisnya penjualan lipstik bisa jadi salah satu indikator resesi, 'Lipstick Effect' (Qilai Shen/Bloomberg)

Istilah itu pertama kali diperkenalkan oleh profesor di studi ekonomi dan sosiologi Juliet Schor dalam bukunya berjudul "The Overspent American" yang terbit tahun 1998 silam.

Ia mencermati, ketika situasi peredaran uang cenderung terbatas, seseorang -dalam buku itu ia spesifik menyebut perempuan- akan lebih banyak membelanjakan uang untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu penting tapi memberikan semacam kepuasan di tengah situasi ketidakpastian. Tidak hanya lipstik, tapi juga produk skincare, make up hingga parfum-parfum bermerek. 

"Mereka mencari kemewahan yang terjangkau, sensasi membeli di department store mahal, menikmati fantasi kecantikan dan keseksian, membeli 'harapan dalam botol'. Kosmetik adalah pelarian dari kehidupan sehari-hari yang menjemukan," demikian tulis Schor, dilansir dari media global.

Sebuah kajian akademis yang dilakukan oleh profesor dari Texas Christian University Sarah Hill dan Christopher Rodenheffer pada 2012 lalu, menyimpulkan, "Meski Lipstick Effect sudah banyak diketahui, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa belanja kaum perempuan untuk produk kecantikan mungkin menjadi indikator ketiga dari resesi ekonomi, sebuah indikator yang mungkin berakar pada psikologi nenek moyang kita," demikian dilansir dari kajian tersebut.

Itu juga yang terlihat di Inggris yang masih bergulat dengan kelesuan ekonomi sampai saat ini, bahkan sempat terbenam dalam resesi dangkal pada tahun lalu. Warga di sana menikmati 'kebahagiaan kecil' dari membeli barang-barang yang sebenarnya bukan kebutuhan utama seperti parfum, lipstik, dan sebagainya. Produk-produk kecantikan, personal care atau perawatan pribadi, laris manis penjualannya, terutama parfum bermerek.

The Lipstick Effect bahkan menjadi panduan bagi Leonard Lauder, pemilik Estée Lauder, perusahaan kosmetik ternama asal New York, Amerika Serikat, dalam merancang bujet bisnis dan pemasaran ketika serangan teroris pada 11 September membuat situasi ekonomi terseret tak menentu. Penjualan lipstik Estée Lauder tahun itu moncer. Begitu pun saat krisis subprime mortgage pada tahun 2008 pecah, lipstik dan beauty product laris manis.

Yang masih hangat terjadi, kala resesi melanda perekonomian global terkena terjangan Pandemi Covid-19, perusahaan kecantikan global asal Prancis, Sephora, membukukan kenaikan penjualan 30% di pasar Amerika saja pada tahun 2020.

Alih-alih sebagai indikator ekonomi yang membaik, larisnya lipstik justru bisa menjadi indikasi bahwa sebuah perekonomian kemungkinan tengah berada dalam situasi yang kurang baik.

Konser Bruno Mars digelar dua hari beruntun dengan tiket termurah dibanderol Rp1,09 juta (Septiana Ledysia/Bloomberg Technoz)

Barang 'mewah' yang dimaksud tak selalu harus lipstik, tapi segala barang yang sebenarnya masuk dalam kategori barang atau kebutuhan tersier, seperti lipstik, skincare, make up, kopi, tiket bioskop, tiket konser musik, juga boneka seperti Labubu.

Membeli barang-barang tersebut, dinilai memberikan perasaan 'normal' dan memanjakan diri, semacam penghiburan, pelarian dari ketidaknyamanan yang timbul ketika perekonomian menghadapi masa sulit. 

Bagaimana di Indonesia? Selain konser musik yang masih padat penonton, juga antrian pembelian boneka, ternyata penjualan kecantikan terutama lipstik di Indonesia memang tak main-main.

Boneka Labubu yang banyak diburu anak muda, harganya bisa puluhan juta rupiah (Instagram @kasinglung)

Melansir riset Magpie Ecommerce Intelligence, sepanjang Juli-Desember 2023, pasar produk bibir [lip product] mencapai Rp1,2 triliun dengan 42,6 juta produk terjual melalui lokapasar Shopee dan Tokopedia. Sebanyak 82% konsumen lebih memilih beli produk kecantikan melalui e-commerce. 

Sampai kuartal 1-2024, penjualan produk kecantikan tumbuh 8% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. "Pada 2024, produk bibir di Indonesia diperkirakan menghasilkan US$359,3 juta," kata Wilhendra Akmam, CEO Magpie, dilansir dari media lokal.

Mengacu data Kementerian Perindustrian, selama kurun waktu 2021-2024, total pendapatan industri kosmetik diprediksi naik 48% dari US$1,31 miliar menjadi US$1,94 miliar. 

“Kondisi ekspansif juga terlihat pada penambahan pelaku usaha kosmetik, dimana berdasarkan data Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia dari BPOM, pelaku usaha kosmetik meningkat dari 819 pelaku usaha pada tahun 2021 menjadi 1.039 pelaku usaha pada akhir tahun 2023,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka, Reni Yanita, dalam siaran pers yang dipublikasikan di website resmi Kemenperin.

Pertumbuhan sektor industri kosmetik itu diperkirakan akan terus berlanjut hingga tahun 2028, dan diperkirakan dalam kurun waktu 2024-2028, industri kosmetik di Indonesia akan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 5,35% per tahun. “Hal ini merupakan sebuah peluang yang sangat menjanjikan dan harus dimanfaatkan dengan maksimal oleh para pelaku usaha industri kosmetik, termasuk pelaku Industi Kecil dan Menengah,” kata Reni. 

Sebanyak 89% pelaku industri kosmetik di Tanah Air termasuk kategori IKM sehingga dinilai cukup penting perannya dalam penyediaan lapangan kerja di Tanah Air.  

Inflasi Tertinggi

Hal menarik juga bisa dilihat dari publikasi data BPS tentang pergerakan harga awal pekan ini. Meski inflasi umum melandai, bahkan deflasi lima bulan beruntun, beberapa kelompok pengeluaran mencatat inflasi yang masih cukup tinggi, terutama di kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya.

Pada September, kelompok itu mencatat inflasi 6,25% year-on-year, tertinggi di antara kelompok pengeluaran lain. Subkelompok perawatan pribadi lainnya bahkan mencatat inflasi 17,33% year-on-year seperti terlihat dalam tabel di bawah.

Inflasi yang masih tinggi di kelompok barang ini kemungkinan menunjukkan masih ada permintaan yang mendorong produsen menaikkan harga.

Subkelompok Perawatan pribadi dan jasa lainnya Perawatan pribadi Perawatan pribadi lainnya Perlindungan sosial Jasa lainnya
Inflasi yoy (%) 6,25% 1,78% 17,33% 1,54% 2,12%

Beberapa barang yang masuk dalam kelompok tersebut adalah barang-barang yang hampir pasti dibutuhkan oleh rumah tangga seperti sabun mandi, sabun wajah, pasta gigi, deodoran, shampoo, tisu, popok bayi, pembalut wanita dan barang-barang yang biasa disebut fast moving consumer goods (FMCG) ini.

Produk skincare atau perawatan kulit, rias wajah (make up) seperti bedak, lipstik, maskara dan lain-lain, juga termasuk kategori pengeluaran tersebut.

Sedang di luar FMCG, yang masuk dalam kategori pengeluaran itu adalah seperti tarif jasa salon, gunting rambut, facial, dan lain sebagainya. 

Kategori barang/jasa lain yang juga masih mencatat inflasi pada bulan lalu adalah kelompok rekreasi, olahraga dan budaya. Termasuk di sini adalah koran, majalah, alat olahraga, tiket konser, tiket pariwisata, dan lain-lain.

Laporan BPS menyebut, kelompok pengeluaran rekreasi, olahraga dan budaya mencatat inflasi bulanan 0,05% dan tahunan sebesar 1,69%.

Dari enam subkategori, lima di antaranya mengalami inflasi. Inflasi tertinggi yaitu kategori layanan kebudayaan yang naik 2,84%. Sedangkan inflasi terendah dicatat kategori perlengkapan kebudayaan sebesar 0,63%. Sementara subkategori yang tidak mengalami perubahan harga adalah barang rekreasi tahan lama.

-- update pada perkembangan industri kosmetika di Indonesia.

    (rui/aji)

    No more pages