Logo Bloomberg Technoz

Paling Vokal

Indonesia telah lama menjadi salah satu negara yang paling vokal dalam menentang UU Antideforestasi Uni Eropa lantaran dinilai memberatkan dan berpotensi ‘mematikan’ berbagai lini industri perkebunan; mulai dari kelapa sawit, kopi, hingga kakao.

Bahkan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan bahwa, ketika menghadiri sesi di KTT G-20 India, Presiden Joko Widodo menyuarakan aspirasi soal EUDR yang dianggap merugikan komoditas ekspor Indonesia dan sejumlah negara.

Dia mengatakan, negara-negara di KTT mencatat hal tersebut dan G-20 akan mempertimbangkan masukan Indonesia. Tak hanya itu, dalam pertemuan dengan pemimpin WTO, Presiden Jokowi juga meminta agar organisasi perdagangan dunia itu lebih memperhatikan kepentingan negara berkembang.

Untuk diketahui, EUDR menjadi momok bagi ekspor komoditas Indonesia karena mempengaruhi produk perdagangan Indonesia. Regulasi yang baru itu mengatur dengan ketat soal kenihilan soal persinggungan penebangan hutan dengan produk tertentu.  

Uni Eropa menyepakati aturan ini sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi hutan dunia. Untuk itu, produk yang masuk ke Uni Eropa harus dipastikan bebas dari deforestasi dan tidak mempengaruhi kelestarian hutan.

Akibatnya, ada sejumlah komoditas yang dinilai menyebabkan deforestasi di antaranya sawit, kopi, daging, kayu, kakao, kedelai dan karet.

Indonesia sendiri bersama 16 negara lain sudah sempat menyampaikan surat bersama kedua kepada para pemimpin UE. Surat tersebut ditandatangani di KBRI Brussel, Belgia oleh para duta besar yaitu Indonesia, Argentina, Brasil, Bolivia, Ekuador, Ghana, Guatemala, Honduras, Kolombia, Malaysia, Meksiko, Nigeria, Pantai Gading, Paraguay, Peru, Thailand, dan Republik Dominika pada 7 September 2023. 

Neraca sawit Indonesia sampai dengan Juli 2024./dok. Gapki


Usulan Komisi Eropa

Kabar terbaru, Komisi Eropa pada Rabu (2/10/2024) akhirnya tergerak untuk mengajukan usulan penundaan EUDR selama 12 bulan, dengan tunduk pada tekanan besar dari negara-negara penghasil komoditas dan industri.

Usulan penundaan tersebut sekaligus menandai kemunduran baru bagi dorongan hijau Uni Eropa. Namun, hal itu dapat menawarkan penangguhan hukuman sementara bagi konsumen, pada saat cuaca ekstrem mendorong kenaikan harga tanaman pangan di seluruh dunia dan menghidupkan kembali kekhawatiran tentang inflasi pangan.

Pengajuan penundaan tersebut juga akan memberikan waktu tambahan bagi para pihak untuk bersiap, tetapi "sama sekali tidak mempertanyakan" tujuan undang-undang tersebut, kata komisi tersebut dalam sebuah pernyataan. 

Proposal penundaan tersebut akan memerlukan persetujuan dari Parlemen Eropa dan negara-negara anggota, karena peraturan EUDR tersebut sedianya dijadwalkan mulai berlaku pada 30 Desember.

“Komisi mengakui bahwa tiga bulan sebelum tanggal penerapan yang dimaksudkan, beberapa mitra global telah berulang kali menyatakan kekhawatiran tentang tingkat kesiapan mereka,” katanya.

“Tingkat persiapan di antara para pemangku kepentingan di Eropa juga tidak merata.”

(wdh)

No more pages