Lebih jauh, melalui Pasal 74 Ayat (1) juga menyebutkan bahwa pemberian IUPK harus memperhatikan kepentingan daerah.
Kedua, Melky mengatakan, pengelolaan tambang bukan tugas dan tujuan utama dari pendirian ormas keagamaan.
Melalui judicial review ini, Melky mengeklaim, Tim Advokasi Tolak Tambang sedang melindungi ormas keagamaan agar tidak terlibat dalam industri pertambangan yang acapkali disebut rentan dengan konflik sosial, koruptif, dan melanggar hak asasi manusia.
“Dalil bahwa ini untuk membantu ekonomi umat, juga jelas menyesatkan. Pilihan ekonomi tambang jelas tidak berkelanjutan, justru dengan mudah memangsa basis produksi utama warga, terutama terkait ruang pangan dan air,” ujarnya.
Sebelumnya, Jatam juga melaporkan kualitas 3 sungai yang berada di tengah kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) —Sungai Wosia, Sungai Ake Doma, dan Sungai Kobe — memiliki kandungan nikel total dan tersuspensi total (TSS) yang melampaui peraturan.
Selain itu, Jatam melaporkan IWIP mengekstraksi air lebih banyak daripada yang digunakan oleh penduduk Halmahera Tengah, dengan mengambil 27.000 m3/hari dari Sungai Sagea, Sungai Kobe, Sungai Sake dan Sungai Wosia.
Ketiga, Jatam mengatakan tengah melindungi ormas keagamaan agar terhindar dari konflik kepentingan melalui judicial review.
“Mengingat upaya paksa mengelola tambang bisa memicu konflik antar warga vs negara, korporasi, dan ormas keagamaan. Warga yang berada di posisi korban sebagian besar di antaranya adalah anggota dari ormas keagamaan yang akan mengelola tambang itu,” ujarnya.
Keempat, judicial review juga menjadi langkah untuk memastikan ormas keagamaan agar terhindar dari transaksi politik untuk kepentingan diri dan kelompok.
“Kelima, judicial review ini juga sebagai upaya untuk memastikan ormas keagamaan agar tidak kehilangan moral, memastikan ormas dengan kekuatan politik yang besar tetap menjadi benteng terpenting dalam mengontrol negara, agar berjalan sebagaimana mestinya,” ujarnya.
(dov/wdh)