Bloomberg Technoz, Jakarta – Kalangan ahli dan pakar pertambangan menilai Peraturan Pemerintah No. 25/2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur penawaran prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, memiliki kontroversi.
Kontroversi tersebut a.l. pasal yang bertentangan dengan Undang-undang No. 4/2009 yang telah diubah dengan UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan sarat transaksi politik.
“Pada UU tersebut tidak ada nomenklatur ormas keagamaan yang mendapatkan prioritas wilayah atau izin pertambangan,” ujar Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Rizal Kasli kepada Bloomberg Technoz, dikutip Kamis (3/10/2024).

Sekadar catatan, Pasal 51 UU Minerba menyatakan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mineral logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara lelang.
Sementara itu, Pasal 75 menjelaskan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) diberikan kepada badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta.
Adapun, BUMN dan badan usaha milik daerah mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. Sementara itu, badan usaha swasta untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK.
Di lain sisi, Pasal 83A PP No. 25/2024 menyatakan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan.
Rizal mengatakan, sebagian pengamat juga berpendapat langkah pemberian izin kepada badan usaha ormas keagamaan sarat dengan transaksi politik.
“PP tersebut kelihatannya dibuat sangat mendadak untuk mengakomodir rencana pemerintah untuk memberikan IUP kepada ormas keagamaan,” ujar Rizal.
Menurutnya, revisi terhadap UU Minerba harus dilakukan dengan menambahkan nomenklatur badan usaha ormas keagamaan untuk mendapatkan kewenangan mengelola WIUPK agar tidak menimbulkan kontroversi.
Namun, Rizal menggarisbawahi terdapat beberapa pasal lain yang perlu mendapatkan revisi, terutama untuk menghindari adanya Pertambangan Tanpa Izin (PETI).
Sebagai contoh, ketentuan untuk izin pertambangan rakyat (IPR), IUP batuan dan mineral nonlogam yang tidak mendapatkan perhatian pemerintah sehingga pengurusannya sangat sulit dan tidak sederhana.
“Padahal tujuan dibuatnya UU Cipta Kerja adalah untuk menyederhanakan perizinan, tetapi yang terjadi sebaliknya urusan perizinan untuk pemain tambang menengah ke bawah sulit dilakukan,” ujarnya.
Tim Advokasi Tolak Tambang —yang terdiri dari para tokoh, akademisi, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat — sebelumnya mendaftarkan permohonan judicial review Peraturan Pemerintah No. 25/2024 ihwal pemberian prioritas izin tambang bagi badan usaha ormas keagamaan.
Permohonan judicial review itu disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA) pada Selasa (1/10/2024).
Dalam permohonannya, Tim Advokasi Tolak Tambang mendalilkan PP No. 25/2024 bukan hanya cacat secara hukum, tetapi juga berpotensi menjadi arena transaksi (suap) politik.
Pemberian izin tambang tanpa lelang kepada badan usaha ormas keagamaan dinilai menyalahi Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dengan demikian, Tim Advokasi menuntut ormas keagamaan untuk tetap fokus pada pembinaan dan pelayanan umat.
(dov/wdh)