Logo Bloomberg Technoz

Teori ilmu ekonomi yang dikenal sebagai 'Kurva Phillips' memperlihatkan hubungan jangka panjang antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi atau antara inflasi dan pengangguran. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan memicu tingkat inflasi jadi tinggi. Serupa, semakin rendah pengangguran maka akan semakin tinggi pula tingkat inflasi.

Begitupun sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi yang rendah akan menciptakan inflasi yang juga rendah. Inflasi rendah juga bisa berarti tingkat pengangguran yang tinggi.

Selama hampir 10 tahun di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang sebentar lagi berakhir yakni sejak Oktober 2014 hingga data terakhir Desember 2023, rata-rata pertumbuhan ekonomi (PDB riil tahunan) hanya berkisar 4,23%. Inflasi pada periode itu terbilang rendah yaitu 3,50% per tahun (Oktober 2014-September 2024).

Pertumbuhan ekonomi selama hampir 10 tahun era Jokowi cenderung rendah (Dok. Bloomberg)

Inflasi yang rendah memang bisa menjaga daya beli masyarakat. Namun, apabila selisih antara bertambahnya kesejahteraan pertumbuhan ekonomi lebih kecil dibandingkan berkurangnya daya beli akibat inflasi, maka bisa dipastikan secara agregat, tingkat kesejahteraan masyarakat akan berkurang.

Baca juga: Pendapatan Riil Masyarakat Indonesia Turun Selama Era Jokowi

Menjaga daya beli masyarakat dengan menahan laju inflasi serendah mungkin akhirnya menjadi hal yang sia-sia bila pada saat yang sama produktivitas ekonomi juga menurun. 

Lantas, bagaimana potret perekonomian domestik bila melihat data-data lain, tak hanya data pergerakan harga?

Mengambil kesimpulan hanya dari satu data saja akan rentan terjebak kesimpulan yang bias. Menjadi penting untuk menempatkan data deflasi yang telah membawa inflasi tahunan ke level terendah tiga tahun itu, bersama data-data lain yang juga krusial dicermati.

Berikut ini data-data ekonomi yang tak kalah penting untuk dilihat dan dicermati masyarakat:

Angka PHK Naik 

Kementerian Tenaga Kerja RI pekan lalu mengumumkan jumlah kasus pekerja yang terkena PHK selama Januari hingga Agustus 2024 telah menembus 46.240 orang. Pada Agustus saja, penambahan kasus PHK mencapai 3.337 pekerja, lebih sedikit dibanding Juli di mana terjadi 10.799 pekerja. Namun, bila dibandingkan periode Januari-Agustus 2023, angka PHK tahun ini sudah meningkat 23,7%.

Data PHK itu memotret kasus PHK 'resmi', belum menangkap fenomena pensiun dini yang banyak terjadi terdorong efisiensi perusahaan, juga belum memotret tren pengunduran diri karena kontrak kerja tidak lagi diperpanjang. Keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) ditengarai semakin mempermudah perusahaan dalam memutuskan hubungan kerja dengan para pekerja.

Manufaktur Lesu

S&P Global melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada September bernilai 49,2. Sedikit naik dibandingkan Agustus yang sebesar 48,9, namun masih berada di zona kontraksi. "PMI memberikan sinyal laju kontraksi sedikit lebih melambat," tulis keterangan S&P.

Alhasil, PMI manufaktur Indonesia sudah berada di area kontraksi selama tiga bulan beruntun. 

PMI Manufaktur Indonesia September (Sumber: S&P Global, Bloomberg)

"Kondisi operasional manufaktur masih menurun pada September, tercermin dari penurunan produksi dan pemesanan baru (new orders).  Inventori di gudang dan barang jadi meningkat. Sementara pelaku industri menurunkan pembelian bahan baku," ungkap S&P.

Pelaku usaha, lanjut keterangan S&P, menilai permintaan masih lemah dan aktivitas klien menurun dibandingkan awal tahun ini. Sedangkan permintaan manufaktur di luar negeri masih menjadi beban. Bisnis ekspor turun dalam tujuh bulan beruntun ke posisi terendah sejak November 2022. 

Pembelian bahan baku pun menurun, sudah tiga bulan berturut-turut. Jika dimungkinkan, pelaku usaha memilih untuk menggunakan barang yang sudah ada.

Penjualan Ritel Belum Cerah

Mengacu data Bank Indonesia, kinerja penjualan ritel eceran di Indonesia pada Agustus masih tumbuh positif akan tetapi lajunya melambat. 

Pada Agustus, Indeks Penjualan Riil tercatat tumbuh 5,8% year-on-year. Naik 1,3 poin persentase dibanding Juli yang tumbuh 4,5%, akan tetapi lebih kecil dibanding pertumbuhan Juni-Juli yang mencapai 1,7 poin persentase.

Melihat kelompok komoditas, penjualan ritel kategori peralatan informasi dan komunikasi, juga kategori perlengkapan rumah tangga, terkontraksi masing-masing -11,5% dan -1,7%.

Ilustrasi Supermarket (Sumber: Dimas Ardian/Bloomberg)

Dua kelompok itu menyiratkan kelesuan penjualan durable goods. memberi sinyal konsumsi masyarakat yang defensif karena pada saat yang sama penjualan sektor makanan, minuman dan tembakau naik 7,7% pada Agustus, tertinggi sejak periode Ramadan-Lebaran lalu. 

Sementara secara bulanan, penjualan ritel membaik dengan laju 1,6% month-on-month, setelah pada Juli lalu terkontraksi atau turun 7,2%. Penting dicatat dalam laju bulanan, kinerja penjualan ritel selama periode deflasi, memang beberapa kali mengalami kontraksi.

Yakni pada Mei -3,5%, lalu Juni tumbuh sedikit 0,4%, dan pada Juli ambles dalam hingga -7,2%. Jadi, capaian pertumbuhan Agustus menjadi titik cerah karena pertama kalinya dalam empat bulan, penjualan ritel tumbuh di atas 1%.

Penjualan Sepeda Motor dan Mobil

Kinerja penjualan otomotif menjadi salah satu indikator daya beli karena mencerminkan kekuatan konsumsi non-makanan.

Mengacu data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), pada Agustus 2024 penjualan sepeda motor di pasar domestik mencapai 573.886 unit, turun 4,2% dibanding Juli. Namun, secara tahunan mencatatkan pertumbuhan 7,4%.

Sementara itu penjualan mobil wholesales (dari pabrikan ke dealer mobil), pada Agustus naik tipis 2,8% dibanding Juli. Begitu juga penjualan ritel (dari dealer ke konsumen), juga naik sedikit 1,6% pada Agustus.

Namun, secara tahunan, penjualan mobil wholesales maupun ritel masih terperosok tajam. Pada Agustus, penjualan mobil dari pabrikan ke dealer turun hingga 12% yaitu sebesar 74.229 unit. Sedangkan penjualan mobil dari dealer ke konsumen juga turun 11% year-on-year.

Menghitung kinerja sepanjang tahun, penjualan mobil tahun ini masih buruk, anjlok hingga 17,1% dibanding periode Januari-Agustus 2023 untuk wholesales. Sedang ritel, periode yang sama juga mencatat kemerosotan penjualan hingga 12,1% dibanding tahun lalu.

Fenomena 'Makan Tabungan' 

Lembaga Penjamin Simpanan melaporkan, pada Agustus 2024 tabungan masyarakat dengan saldo di bawah Rp1 juta, hanya tumbuh 0,72%. Sedangkan kelompok tabungan dengan saldo Rp10 juta hingga Rp50 juta masih mencatat pertumbuhan.

Secara umum, Dana Pihak Ketiga (DPK) atau simpanan masyarakat di bank pada Agustus hanya tumbuh 7%, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya.

Baca juga: Mengapa Fenomena Makan Tabungan Masih Terjadi Kala Harga Turun?

“Yang paling rendah memang yang di bawah Rp1 juta, tumbuh 0,72%, jadi mungkin terendah dalam tahun 2024 ini. [fenomena] makan tabungan, tapi mungkin juga memang nggak punya duit dari pertama, atau mungkin biasanya 'kan ada BLT [Bantuan Langsung Tunai] belum diselesaikan,” kata Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa. 

Pendapatan riil masyarakat RI, terindikasi dari disposable income terhadap PDB per kapita masyarakat Indonesia, terus menurun (Bloomberg Technoz)

Peredaran Uang Melambat

Berdasarkan data Bank Indonesia terakhir, pada Agustus 2024, peredaran uang di Indonesia pertumbuhannya melambat. Pada Agustus, posisi M2 atau uang beredar dalam artian luas, tercatat sebesar Rp8.973,7 triliun, tumbuh 7,3% secara tahunan, lebih rendah dibanding pertumbuhan pada Juli 7,6%.

Perkembangan itu terutama karena pertumbuhan uang beredar sempit (M1) sebesar 7% dan uang kuasi 5,6%. Laju M1 naik dibanding Juli sebesar 6,3%. Namun, uang kuasi melambat tajam karena pada Juli masih tumbuh 7,5%.

Penurunan uang kuasi terutama karena turunnya pertumbuhan deposito berjangka 5,4% dari tadinya 6,9%, lalu giro valas turun 7,8% dari sebelumnya tumbuh 12,8%.

Pertumbuhan kredit tersendat

Penyaluran kredit oleh perbankan pada Agustus melambat dengan pertumbuhan 10,9%, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya 11,7%. Penurunan pertumbuhan terjadi baik untuk jenis kredit korporasi maupun perorangan juga nasabah lain.

Berdasarkan jenisnya, semua kategori kredit yakni kredit modal kerja, kredit investasi hingga kredit konsumsi, mencatat perlambatan pertumbuhan. 

Kredit properti juga melambat pertumbuhannya, hanya 8% dari 9% pada Juli. Penyaluran KPR turun, hanya tumbuh 11,4% dari bulan Juli yang masih tumbuh 14,3%.

Kredit sektor UMKM juga turun, hanya tumbuh 4,3% dari sebelumnya 5,1%. Terutama untuk jenis kredit mikro dan menengah.

Keyakinan Konsumen

Hasil Survei Konsumen terakhir yang dilansir oleh Bank Indonesia mencatat kenaikan tipis tingkat keyakinan konsumen pada Agustus, dengan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) naik satu poin ke level 124,4.

Kenaikan itu didukung oleh Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) saat ini, yang menggambarkan persepsi masyarakat akan kondisi ekonomi pada saat survei dilakukan, yang naik 0,5 poin. Juga didukung oleh Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang naik 1,6 poin. Indeks terakhir ini memotret persepsi masyarakat akan kondisi ekonomi enam bulan dari waktu survei dilangsungkan.

Dilihat lebih dalam menurut kelompok konsumen, tercatat kelompok pengeluaran menengah Rp3,1 juta-Rp4 juta, sebagai yang paling kurang keyakinannya dengan IKK turun empat poin. Kelompok pengeluaran ini juga yang turun persepsinya akan kondisi ekonomi saat ini serta ekspektasi ke depan juga turun.

Sementara tiga dari lima kelompok penghasilan yang disurvei, yakni antara Rp2,1 juta-Rp5 juta, mencatat penurunan persepsi akan kondisi penghasilan saat ini.

Konsumsi Turun, Cicilan Utang Naik

Masih menurut Survei Konsumen Agustus, perkembangan proporsi pengeluaran konsumen di Indonesia memperlihatkan penurunan alokasi untuk konsumsi. Yaitu menjadi 73,5%, turun 0,3 poin persentase. Pada saat yang sama, alokasi pengeluaran untuk utang naik 0,2 poin persentase dan untuk tabungan juga naik 0,2 poin persentase.

Penurunan alokasi untuk konsumsi dicatat oleh kelas pengeluaran bawah yakni Rp1 juta-3 juta. Sedangkan pengeluaran untuk utang hampir semua naik kecuali kelompok pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta dan di atas Rp5 juta. Sementara penurunan alokasi pengeluaran untuk tabungan, dicatat oleh kelompok pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta.

Sebanyak 22,2 Juta Orang 'Turun Kelas' 

Data BPS mencatat, dalam lima tahun terakhir, sebanyak 9,48 orang Indonesia yang tadinya termasuk kelas menengah, turun kelas menjadi kelompok calon kelas menengah. Pada saat yang sama, sebanyak 12,72 orang yang semula memiliki daya beli calon kelas menengah, terjatuh menjadi kelas rentan miskin.

Kelas Menengah Turun Kasta, Kesejahteraan Merosot (Bloomberg Technoz)

Kini, struktur penduduk di Indonesia semakin banyak didominasi oleh kelas pendapatan calon kelas menengah, yakni mereka dengan pengeluaran antara Rp874.398 hingga Rp2,04 juta per kapita per bulan. Jumlah kelompok ini pada 2024 mencapai 137,5 juta orang, atau setara 49,22% dari populasi Indonesia.

Menyusul di belakangnya, populasi kedua terbesar penduduk kini didominasi juga oleh  kelompok rentan miskin dengan nilai pengeluaran antara Rp582.932-Rp874.398 per kapita per bulan. Proporsi kelompok ini mencapai 24,23% pada 2024, naik signifikan dibanding 2019 lalu yang sebesar 20,56%.

-- dengan bantuan laporan Azura Yumna, Pramesti Regita dan Mis Fransiska.

(rui/aji)

No more pages