S&P Global melaporkan PMI manufaktur Indonesia pada September bernilai 49,2, naik dibandingkan dengan Agustus yang sebesar 48,9.
PMI menggunakan angka 50 sebagai tolok ukur. Jika masih di bawa 50, maka aktivitas masih mengalami kontraksi, bukan ekspansi. Dengan demikian, PMI manufaktur Indonesia sudah berada di area kontraksi selama 3 bulan beruntun.
Dalam kaitan itu, Shinta beranggapan kinerja manufaktur Indonesia memang sangat tergantung pada kinerja pasar domestik, di mana permintaan dalam negeri lebih besar dibandingkan dengan internasional.
“Kami apresiasi apa yang telah dilakukan pemerintah selama ini untuk bisa mendorong dan mengembangkan industri dalam negeri. Namun jelas demand ini berpengaruh bagaimana kinerja dari manufaktur saat ini,” ujarnya.
Pekerjaan Rumah
Menurut Shinta, pekerjaan rumah yang harus dilakukan adalah pengembangan industrialisasi dan penghiliran atau hilirisasi.
Selain itu, Indonesia juga harus memiliki daya saing dari sisi biaya operasional atau cost of doing business. Sebab, kata Shinta, biaya untuk pekerja, energi, dan logistik di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Selanjutnya, Shinta juga mendorong bagaimana produk Indonesia bisa masuk ke dalam rantai pasok global dengan mengembangkan produktivitas usaha.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi deflasi lagi pada September, menjadi deflasi untuk bulan kelima beruntun. Deflasi pada September tercatat 0,12%, lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya.
(ain)