"Andil deflasi utamanya disumbang penurunan harga pangan, seperti produk tanaman pangan, hortikultura terutama yang berkaitan dengan cabai merah dan tomat. Juga produk peternakan daging ayam ras, yang sebelumnya harganya meningkat sekarang kembali stabil," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, kemarin.
Deflasi, lanjut Amalia, sering terjadi saat masa panen. Pasokan yang melimpah membuat harga di tingkat konsumen untuk turun. "Penurunan harga ini dipengaruhi mekanisme pembentukan harga di pasar, terutama dari sisi penawaran. Sehingga harga yang diterima konsumen relatif turun karena limpahan pasokan karena panen ataupun turunnya ongkos produksi," jelas Amalia.
Bahaya deflasi
Deflasi secara umum dipahami sebagai penurunan harga yang menyebabkan perubahan negatif dalam indeks harga selama periode berkelanjutan. Penyebab deflasi bermacam-macam. Seperti di Indonesia, sebagaimana pernyataan BPS, adalah lebih karena faktor supply yang melimpah.
Penurunan harga juga karena peningkatan produktivitas, kemajuan teknologi, perubahan kebijakan dalam perekonomian seperti deregulasi. Deflasi juga bisa terjadi karena penurunan harga komoditas utama seperti harga minyak, dan bisa pula karena kelebihan kapasitas produksi (supply).
Bila terjadinya deflasi terkait dengan empat faktor pertama, biasanya itu tidak berbahaya, menurut kajian yang dilansir Douglas H. Brooks dan Pilipinas F. Quising, dalam artikel 'Dangers of Deflation' dilansir oleh Asian Development Bank.
"Ketika pasokan agregat meningkat karena faktor-faktor yang menurunkan biaya produksi, penurunan harga mungkin saja dibarengi pertumbuhan ekonomi yang kuat. Itu terutama berlaku ketika teknologi inovasi meningkatkan produktivitas lebih cepat ketimbang penurunan harga sehingga margin keuntungan tidak terpengaruh secara negatif," jelas Brooks.
Hal itu terjadi di Amerika Serikat (AS) ketika perkembangan pesat ekonomi tahun 1870-1900 terjadi. Kala itu, produsen yang membukukan biaya produksi rendah bisa memperluas pangsa pasar secara cepat sehingga biaya produsen turun dan harga pada konsumen juga turun.
Namun, deflasi mungkin juga terjadi ketika konsumen mengurangi pengeluarannya karena mereka memperkirakan harga akan terus turun atau seiring berjalan waktu menjadi lebih khawatir akan keamanan prospek perekonomian ke depan, terutama bila angka pengangguran terus meningkat.
Itu yang terjadi misalnya di Jepang beberapa dekade lalu. "Perlambatan ekonomi berkepanjangan di Jepang telah menimbulkan kekhawatiran tentang prospek pendapatan di masa depan di kalangan angkatan kerja yang menua, yang mungkin menjadi alasan terjadinya deflasi dalam waktu panjang," jelas Brooks.
Ketika pasokan melebihi permintaan di pasar, harga akan cenderung turun untuk memulihkan keseimbangan. Namun, harga yang terus turun membuat margin keuntungan para produsen bisa susut, bisnis redup dan bisa memicu makin banyak pengangguran yang memerosotkan daya beli.
Begitu juga ketika terjadi kelebihan investasi begitu besar, kala gelembung harga aset pecah, atau saat ketersediaan kredit terbatas, permintaan mungkin akan tetap lemah dalam jangka waktu lama.
Kerumitan dalam deflasi bisa makin dipertajam oleh perkembangan industri keuangan. Di sektor perbankan, deflasi memiliki pengaruh berlawanan terhadap kreditur (penyedia pinjaman) dan debitur (penerima pinjaman), seperti halnya inflasi.
Saat harga barang dan jasa turun, nilai riil mata uang meningkat sesuai jumlah barang dan jasa yang bisa dibelinya. Sebagai konsekuensi, nilai riil utang dan biaya utang akan meningkat.
Kenaikan biaya yang ditanggung oleh debitur mungkin akan memicu peningkatan kasus gagal bayar, sebagian karena nilai agunan yang turun, sehingga membahayakan perekonomian terlebih bila angka kredit bermasalah sudah cukup besar.
Dalam skenario itu, seiring dengan ketidakpastian serta masih adanya ekspektasi penurunan harga, para konsumen yang tidak bergantung pada pinjaman pun akan mengurangi pengeluaran dan investor akan menunda investasi. Efeknya bisa panjang, pengangguran bisa makin banyak, kontraksi output berlanjut dan deflasi makin besar.
Kesuraman itu bisa mendorong para deposan menarik dana dan akhirnya mengancam likuiditas perbankan.
"Spiral deflasi akan terus menekan perekonomian sampai ada lamgkah-langkah khusus diambil untuk memulihkan solvabilitas sistem perbankan dan menghentikan spekulasi harga," jelas dua penulis dalam artikel yang sama.
Di kancah global, tercatat pernah terjadi beberapa kasus deflasi besar di beberapa negara yang penting menjadi pelajaran. Beberapa di antaranya bahkan menjadi awal dari terjadinya krisis besar.
Berikut ini rangkuman yang dikumpulkan oleh Divisi Riset Bloomberg Technoz dari berbagai sumber:
Amerika Serikat
Negara dengan ukuran ekonomi terbesar di dunia saat ini, pernah mengalami episode deflasi beberapa kali. Periode deflasi pada 1815 dan 1860, lalu antara tahun 1865-1900. Ketika itu, deflasi yang terjadi berlangsung ketika pertumbuhan ekonomi juga kuat.
Namun, yang paling dramatis adalah yang terjadi pada 1930-1933, periode yang hari ini dikenal sebagai Era Depresi Hebat alias 'The Great Depression'.
Deflasi di AS ketika itu lebih disebabkan oleh peningkatan produksi ketimbang penurunan permintaan di awal abad ke-19. Deflasi dipicu oleh keruntuhan sektor keuangan dan kegagalan bank. Deflasi yang terjadi pada awal Depresi Besar menjadi yang paling traumatis bagi AS. Harga turun rata-rata 7% setiap tahun antara 1930-1933.
Pada abad ke-21, deflasi kembali menerpa AS dalam episode yang dikenal kini sebagai 'The Great Recession' yang resmi berlangsung sejak Desember 2007-Juni 2009. Harga komoditas berjatuhan terutama harga minyak dan para ekonom khawatiran bahwa deflasi yang berlarut akan membawa perekonomian AS jatuh dalam resesi dan lonjakan pengangguran.
Jepang
Setelah membukukan pertumbuhan ekonomi begitu cepat selama 1955 hingga pertengahan dekade 70-an, perekonomian Jepang perlahan melambat.
Dikutip dari Nomura, menyusul peralihan ke sistem nilai tukar mengambang pada 1973, Plaza Accord 1985 mengakibatkan pelemahan dolar AS. Di tengah kekhawatiran penguatan yen bisa membuat ekonomi turun, Bank of Japan melakukan pelonggaran moneter. Langkah itu diperkirakan menjadi salah satu faktor di balik terbentuknya bubble perekonomian.
Selama periode itu, perekonomian Jepang diuntungkan oleh inflasi yang rendah meski harga aset meningkat tajam, sebagian karena kejatuhan harga minyak mentah.
Namun, harga saham, pertumbuhan ekonomi juga harga tanah mulai turun setelah mencapai puncak masing-masing pada akhir 1989, akhir 1990 dan akhir 1991. Bubble ekonomi pecah dan sejak itu Jepang memasuki periode yang kini dikenal sebagai 'tiga dekade yang hilang'.
Jepang memasuki periode deflasi pada Juli-September 1998. Lalu deflasi lebih panjang berlangsung sejak Februari 1999 sampai April 2006 dengan beberapa bulan di antaranya IHK tercatat tumbuh 0%.
(rui/lav)