Logo Bloomberg Technoz

Bahaya Deflasi: Berkaca Krisis AS & Jepang Buntut Deflasi Panjang

Ruisa Khoiriyah
02 October 2024 10:50

Warga berbelanja di salah satu pasar swalayan di Jakarta, Jumat (8/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)
Warga berbelanja di salah satu pasar swalayan di Jakarta, Jumat (8/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Indonesia mencatat periode deflasi bulanan terpanjang sejak era krisis moneter hebat mematikan perekonomian pada 1997-1999 silam. Pada September lalu, Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat turun 0,12% month-on-month, memperpanjang catatan deflasi bulanan menjadi lima bulan beruntun, terpanjang dalam 25 tahun terakhir.

Pada saat yang sama, inflasi inti tercatat naik di 2,09%, tertinggi sejak Agustus 2023. Secara tahunan, inflasi IHK melambat di 1,84% year-on-year, terendah sejak Desember 2021. Paparan data itu menyisakan tanya.

Adakah deflasi yang semakin panjang merupakan indikator berbahaya bagi perekonomian yang perlu diwaspadai? 

Dalam penjelasannya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut deflasi yang terjadi sampai lima bulan berturut-turut itu lebih karena faktor supply alias pasokan/penawaran yang melimpah. Panen komoditas hortikultura seperti cabai rawit, cabai merah, bawang merah, juga penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi, juga penurunan harga ayam ternak hidup di tingkat produsen.

Deflasi kelompok makanan, minuman dan tembakau pada bulan lalu menjadi yang terdalam sejak 2020 dengan penurunan 0,59% dan andil terhadap deflasi September sebesar 0,17%. Sedangkan penurunan harga BBM nonsubsidi menyumbang deflasi 0,44%, di mana penurunannya disebut sebagai yang terdalam sejak Desember 2023.