Logo Bloomberg Technoz

Dalam aksi May Day 2023 nanti para buruh setidaknya akan mengusung empat tuntutan antara lain pencabutan Omnibus Law Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, pencabutan UU terkait parliamentary threshold 4%, penolakan terhadap RUU Kesehatan, serta pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

Terkait UU Cipta Kerja, Partai Buruh menyoroti 9 poin saat peringatan Hari Buruh 2023 antara lain soal upah murah, outsourcing seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, kontrak buruh terus-menerus tanpa periode, pesangon rendah, permudahan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan penghapusan istirahat panjang 2 bulan.

Poin-poin lainnya terkait ketidakpastian upah bagi buruh perempuan yang mengambil cuti haid dan melahirkan, penghapusan hak cuti 2 hari bagi buruh yang bekerja 5 hari dalam seminggu, jam kerja buruh yang menjadi 12 jam sehari sehingga dapat meningkatkan tingkat kelelahan dan kematian buruh, kemudahan masuk bagi buruh kasar tenaga kerja asing, serta adanya sanksi pidana yang dihapus.

Sementara itu, terkait petani, Partai Buruh mempersoalkan keberadaan bank tanah yang memudahkan korporasi merampas tanah rakyat. Said menambahkan pihaknya juga menyoroti diperbolehkannya importir melakukan impor beras, daging, garam, dan lain-lain saat panen raya dan dihapusnya sanksi pidana bagi importir tersebut.

Terkait tuntutan pencabutan parliamentary threshold 4%, Said menilai ketentuan tersebut mengancam demokrasi. Ia mengungkapkan, dalam simulasi yang dibuat Partai Buruh, pihaknya berkeyakinan mendapat 30 kursi di 16 provinsi dan 29 dapil. Namun, dari 30 kursi tersebut, jumlah suara yang didapat hanya 4,5 juta.

“Total suara yang bisa didapat adalah 4,5 juta. Sedangkan parliamentary threshold 2024 diperkirakan 6 juta suara. Kan tidak adil, mengancam demokrasi. Masa suara kami hangus hanya karena tidak mencapai 6 juta suara,” ujar Said.

Sementara itu, Said mengungkapkan Partai Buruh juga mendesak pengesahan RUU PPRT karena sudah lebih dari 18 tahun tak kunjung disahkan. Menurutnya, hal ini mendesak karena keberadaan UU tersebut sangat dinantikan para pekerja rumah tangga yang hingga saat ini belum memiliki payung hukum.

Terkait RUU Kesehatan, Said menilai hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip jaminan sosial karena akan menempatkan BPJS di bawah kementerian dan tidak lagi di bawah Presiden seperti yang saat ini berjalan. Selain itu, Ia juga menyoroti dewan pengawas dari unsur buruh yang dikurangi.

“Kami mendukung sikap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menolak RUU Kesehatan,” tambahnya. 

(tar/evs)

No more pages