Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk membantu pelaku industri dalam menciptakan efisiensi beban usaha sektor manufaktur, menyusul laporan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia yang masih berada pada level kontraksi pada September 2024.

Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menggarisbawahi kinerja manufaktur Indonesia saat ini cenderung sangat tergantung pada kinerja pasar domestik alias 'jago kandang'. Menurutnya, tidak banyak industri manufaktur lokal yang bersaing di pasar global. 

Dengan situasi tersebut, Shinta berpendapat, peningkatan efisiensi beban usaha bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti; reformasi struktural terhadap jasa-jasa yang berhubungan dengan sektor energi, logistik dan finansial.  

“Semua parameter beban [pricing, lead time, suku bunga pinjaman, dan lain-lain] harus dibuat sedekat mungkin dengan rata-rata parameter beban tersebut di antara Asean-5 [Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand],” ujar Shinta kepada Bloomberg Technoz, Selasa (1/10/2024). 

PMI Manufaktur Indonesia September (Sumber: S&P Global, Bloomberg)

Shinta tidak menampik pelaku usaha masih bisa bernapas lega karena inflasi beban usaha yang lebih terkendali pada September. Namun, di sisi lain, pengusaha juga sangat khawatir terhadap konsumsi atau permintaan pasar domestik yang masih terus rendah atau sluggish.  

Terlebih, kondisi PMI manufaktur Indonesia juga sangat sensitif terhadap perubahan permintaan pasar di dalam negeri.

“Kami sangat berharap dengan menurunnya tekanan kepada Indonesia secara eksternal untuk mempertahankan suku bunga tinggi, Indonesia bisa menciptakan quantitative easing [pelonggaran kuantitatif] di pasar domestik dengan penurunan suku bunga acuan dan pelonggaran persyaratan kredit usaha,” ujarnya.

Quantitative easing ini, kata Shinta, diharapkan bisa menciptakan peningkatan konsumsi pasar untuk mendongkrak pertumbuhan permintaan pasar domestik terhadap output industri manufaktur nasional.

Berorientasi Ekspor

Bagaimanapun, Shinta juga mendesak pemerintah untuk serius membantu memberdayakan industri dalam negeri dalam menciptakan lebih banyak industri manufaktur yang berorientasi ekspor.

Hal ini bisa dilakukan dengan membantu adopsi teknologi manufaktur baru yang lebih efisien, ramah lingkungan untuk meningkatkan produktivitas industri nasional dengan beban usaha yang lebih rendah dan daya saing di pasar global yang baik. 

Aktivitas pekerja di pabrik Frisian Flag Indonesia (FFI) di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (2/7/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Selanjutnya, pemerintah juga bisa membantu dengan memfasilitasi rantai pasok yang bersih atau green supply chain di Indonesia agar produksi industri manufaktur nasional mendapatkan prioritas oleh pasar global dan memenuhi persyaratan pasar dari negara-negara yang mengembangkan berbagai aturan impor berdasarkan isu keberlanjutan atau sustainability.

Pada saat yang sama, kata Shinta, diperlukan juga pengembangan dan pemberdayaan terhadap industri kecil menengah (IKM) yang berorientasi pada penciptaan rantai pasok domestik atau domestic supply chain yang lebih kuat dan lebih efisien.

“Dengan demikian, usaha mikro, kecil dan menengah [UMKM] dan IKM nasional dapat turut berpartisipasi dalam peningkatan kinerja industri nasional sebagai bagian dari supply chain industri, termasuk industri manufaktur yang berorientasi ekspor,” ujarnya.

Pada Selasa (1/10/2024), S&P Global melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada September bernilai  49,2, naik dibandingkan dengan Agustus yang sebesar 48,9.

"PMI memberikan sinyal laju kontraksi sedikit lebih melambat," tulis keterangan S&P.

PMI menggunakan angka 50 sebagai tolok ukur. Jika masih di bawa 50, maka aktivitas masih mengalami kontraksi, bukan ekspansi. Dengan demikian, PMI manufaktur Indonesia sudah berada di area kontraksi selama 3 bulan beruntun.

(dov/wdh)

No more pages