Terlebih, kondisi PMI manufaktur Indonesia juga sangat sensitif terhadap perubahan permintaan pasar di dalam negeri.
“Kami sangat berharap dengan menurunnya tekanan kepada Indonesia secara eksternal untuk mempertahankan suku bunga tinggi, Indonesia bisa menciptakan quantitative easing [pelonggaran kuantitatif] di pasar domestik dengan penurunan suku bunga acuan dan pelonggaran persyaratan kredit usaha,” ujarnya.
Quantitative easing ini, kata Shinta, diharapkan bisa menciptakan peningkatan konsumsi pasar untuk mendongkrak pertumbuhan permintaan pasar domestik terhadap output industri manufaktur nasional.
Berorientasi Ekspor
Bagaimanapun, Shinta juga mendesak pemerintah untuk serius membantu memberdayakan industri dalam negeri dalam menciptakan lebih banyak industri manufaktur yang berorientasi ekspor.
Hal ini bisa dilakukan dengan membantu adopsi teknologi manufaktur baru yang lebih efisien, ramah lingkungan untuk meningkatkan produktivitas industri nasional dengan beban usaha yang lebih rendah dan daya saing di pasar global yang baik.
Selanjutnya, pemerintah juga bisa membantu dengan memfasilitasi rantai pasok yang bersih atau green supply chain di Indonesia agar produksi industri manufaktur nasional mendapatkan prioritas oleh pasar global dan memenuhi persyaratan pasar dari negara-negara yang mengembangkan berbagai aturan impor berdasarkan isu keberlanjutan atau sustainability.
Pada saat yang sama, kata Shinta, diperlukan juga pengembangan dan pemberdayaan terhadap industri kecil menengah (IKM) yang berorientasi pada penciptaan rantai pasok domestik atau domestic supply chain yang lebih kuat dan lebih efisien.
“Dengan demikian, usaha mikro, kecil dan menengah [UMKM] dan IKM nasional dapat turut berpartisipasi dalam peningkatan kinerja industri nasional sebagai bagian dari supply chain industri, termasuk industri manufaktur yang berorientasi ekspor,” ujarnya.
Pada Selasa (1/10/2024), S&P Global melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada September bernilai 49,2, naik dibandingkan dengan Agustus yang sebesar 48,9.
"PMI memberikan sinyal laju kontraksi sedikit lebih melambat," tulis keterangan S&P.
PMI menggunakan angka 50 sebagai tolok ukur. Jika masih di bawa 50, maka aktivitas masih mengalami kontraksi, bukan ekspansi. Dengan demikian, PMI manufaktur Indonesia sudah berada di area kontraksi selama 3 bulan beruntun.
(dov/wdh)