Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai deflasi, apapun sebabnya, merupakan hal negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, hal ini menunjukkan pemerintah tidak berhasil mengantisipasi perubahan.
"Sangat kuat tendensi bahwa deflasi ini dipicu oleh penurunan daya beli, apalagi tren deflasi ini terjadi sepanjang Mei, Juni, Juli, dan Agustus. Sangat sulit diterima pandangan bahwa terjadi suplai berlebih pada 4 bulan itu," ujar Wijayanto kepada Bloomberg Technoz baru-baru ini.
Pandangan terkait penurunan daya beli ini semakin kuat melihat indikator lain seperti Purchasing Managers' Index (PMI) yang konsisten di bawah 50% pada Agustus–September ini.
Pada Selasa pagi, S&P Global melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada September bernilai 49,2.
PMI Manufaktur Indonesia sudah berada di area kontraksi selama 3 bulan berturut-turut kontraksi manufaktur terutama karena pelemahan permintaan baik dari dalam negeri maupun ekspor.
Penurunan kinerja industri manufaktur tersebut, berdampak besar terhadap masyarakat. Pasalnya, Pemutusan Hak Kerja (PHK) cukup marak baru-baru ini turut menyebabkan proporsi pekerja informal meningkat.
Inflasi tahunan (year-on-year/yoy) September pun melambat. Konsensus Bloomberg yang melibatkan 31 Ekonom/ Analis menghasilkan median proyeksi di angka 2%. Lebih rendah dibandingkan Agustus sebelumnya yang sebesar 2,12%.
Dari global, pidato terbaru Gubernur Federal Reserve Jerome Powell tadi malam yang bernada cenderung Hawkish.
Seperti yang diwartakan Bloomberg News, pernyataan The Fed tampaknya menunjukkan pasar harus memikirkan pemangkasan setengah poin dan bukannya tiga perempat poin untuk di sisa tahun ini.
Para swap trader membatasi taruhan penurunan suku bunga yang telah diperdagangkan lebih dekat ke pergerakan tiga perempat poin sebelum pembukaan pasar AS di tengah menghadapi berbagai risiko, termasuk meningkatnya ketegangan di Timur Tengah.
(fad)