Rupiah akan mencermati laporan data inflasi September yang diprediksi akan kembali melanjutkan deflasi. Konsensus Bloomberg sejauh ini memperkirakan inflasi bulan lalu akan melandai ke level 2% dari 2,12% bulan sebelumnya.
Sementara itu, tadi malam Powell melontarkan pernyataan bernada hawkish yang membuat pelaku pasar perlu menimbang potensi bahwa pemangkasan di sisa tahun ini kemungkinan hanya 50 bps alih-alih 75 bps. Yield Treasury, surat utang AS, kompak naik di semua tenor bahkan tenor pendek 2Y naik 7,2 bps ke 3,61%.
Para investor juga perlu menghitung berbagai risiko baru termasuk ketegangan yang meningkat di Timur Tengah, aksi mogok pekerja dermaga di pelabuhan-pelabuhan penting AS pada Selasa.
Gubernur The Fed Chicago, Austan Goolsbee, menyuarakan keprihatinannya mengenai goncangan suplai jika pemogokan berlarut-larut. "Hal ini akan meningkatkan biaya berbisnis dan menyebabkan kelangkaan," katanya kepada Fox Business.
Powell mengatakan bahwa bank sentral akan menurunkan suku bunga "dari waktu ke waktu", sementara sekali lagi menekankan bahwa ekonomi AS secara keseluruhan tetap berada di pijakan yang kokoh.
Powell juga menegaskan kembali keyakinannya bahwa inflasi akan terus bergerak menuju target 2% The Fed. Ia menambahkan, kondisi ekonomi "menata meja" untuk pelonggaran lebih lanjut dari tekanan harga.
"Ke depan, jika ekonomi berkembang secara luas seperti yang diharapkan, kebijakan akan bergerak dari waktu ke waktu ke arah sikap yang lebih netral," kata Powell dalam pidatonya di Nashville pada pertemuan tahunan Asosiasi Ekonomi Bisnis Nasional.
"Namun, kami tidak berada di jalur yang sudah ditentukan sebelumnya," katanya, seraya menambahkan bahwa para pembuat kebijakan akan terus mengambil keputusan dari pertemuan ke pertemuan berdasarkan data ekonomi yang masuk.
Tekanan jual saham
Di awal pekan, tekanan jual melanda pasar saham cukup hebat hingga indeks ditutup turun lebih dari 2% kemarin.
Arus modal asing diduga mulai keluar dan mengarahkan sasaran ke aset-aset di bursa China menyusul paket stimulus yang dikucurkan besar-besaran otoritas setempat untuk mendukung pemulihan ekonomi negeri itu. Tren keluarnya dana asing sudah terjadi mulai pekan lalu, menghentikan 'banjir' capital inflows berlangsung sejak Agustus.
Di pasar surat utang, nilai belanja investor asing melambat di mana dalam lima hari terakhir turun US$54,5 juta, jatuh di bawah rata-rata 20 hari yang mencapai US$72,5 juta.
Seminggu terakhir, yield INDON, surat utang negara dalam denominasi dolar AS, untuk tenor 10Y sudah naik 7,4 bps ke level 4,62%.
Dengan seminggu ke depan bursa China tutup, layak dicermati apakah dana asing akan tertahan arus keluarnya dari pasar setelah kemarin diduga menyerbu Tiongkok hingga indeks saham negeri itu melompat lebih dari 10%.
Analisis teknikal
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi melanjutkan tren pelemahan, setelah kemarin tetiba berbalik arah dengan cepat menjebol support.
Nilai rupiah berpotensi terkoreksi menuju area Rp15.180-Rp15.200/US$. Trendline channel sebelumnya jebol dan tertembus menjadi support terkuat, kini menjadi level resistance terdekat pada Rp15.120/US$.
Apabila pelemahan kembali berlanjut dengan tekanan dan volume yang tinggi, ada trendline garis ungu pada level Rp15.250/US$ yang menjadi support paling krusial, bersama Rp15.300/US$, sekaligus support psikologis rupiah.
Sementara resistance selanjutnya yang menarik dicermati pada Rp15.100-Rp15.070/US$.
(rui)