Meski naik, posisi itu masih lebih rendah dibandingkan awal tahun 2023 silam. Melihat trennya, terlihat penurunan indeks tabungan kelompok ini terjadi sejak April 2023 setelah perayaan Lebaran. Dengan kata lain, meski kini mulai beranjak naik, sejatinya kelompok ini masih berada di periode 'mantab' alias makan tabungan untuk membiayai pengeluaran belanja yang meningkat.
Sementara itu kelompok menengah, yakni mereka yang memiliki saldo tabungan Rp1 juta hingga Rp10 juta, juga memperlihatkan tren serupa. Pada Juli lalu, indeks tabungan kelas menengah ada di posisi 94,8. Masih tertekan di bawah posisi 100 di mana hal itu terjadi sejak November 2023, persis ketika harga beras melesat tinggi.
Setelah itu, kelas menengah terlihat masih kesulitan mengerek angka tabungannya lagi ke level indeks 100. Indeks tabungan yang menurun ketika belanja meningkat, bisa mensinyalkan pendapatan makin banyak terkuras untuk membiayai pengeluaran konsumsi sehingga menekan alokasi untuk ditabung.
Hal berbeda terlihat di kelompok ekonomi atas, yaitu mereka yang memiliki saldo tabungan di atas Rp10 juta. Kelompok ini mencatat kenaikan belanja dan kenaikan tabungan juga. Data yang sama menunjukkan, periode kenaikan nilai tabungan kelas atas ini sudah berlangsung Februari lalu.
Keluhan Harga Mahal Kala Deflasi
Fenomena makan tabungan yang masih berlanjut terutama di kelas menengah dan bawah berlangsung ketika Indonesia mencatat deflasi beruntun dalam empat bulan terakhir. Dalam penjelasannya, Badan Pusat Statistik menyebut, penyebab deflasi pada Agustus lebih karena penurunan harga komoditas seperti bahan bakar minyak (BBM) serta pasokan komoditas di keranjang volatile foods seperti bawang merah yang melimpah karena panen.
"Pertamina kembali melakukan penyesuaian harga BBM. Kemudian pasokan bawang merah melimpah. Harga ayam ternak hidup juga mengalami penurunan," kata Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini pada taklimat media awal bulan September lalu.
Sementara inflasi inti, yang seringkali dilihat sebagai indikator permintaan dalam perekonomian, tercatat naik dalam dua bulan beruntun. Per Agustus sebesar 2,02% year-on-year. Kenaikan inflasi inti, terutama karena kenaikan harga kopi bubuk, emas perhiasan, biaya sekolah dasar, biaya perguruan tinggi dan sekolah menengah pertama.
Bila melihat indikator itu, mungkin agak sulit menyimpulkan terjadi penurunan daya beli. Permintaan masih tumbuh seperti terlihat dari inflasi inti yang positif.
Namun, mengapa fenomena makan tabungan masih berlanjut utamanya di kelas menengah bawah dan kelas bawah?
Hukum Engel menyatakan, ketika pendapatan seseorang menurun, proporsi atau persentase nilai belanja yang dialokasikan untuk makanan dibanding seluruh pengeluaran, akan meningkat. Itu karena makanan merupakan kebutuhan dasar.
Orang akan cenderung mempertahankan tingkat konsumsi makanan meski mengalami penurunan pendapatan. Semakin kecil pendapatan seseorang, semakin besar proporsi penghasilan yang dihabiskan untuk makanan. Bisa disimpulkan, penurunan daya beli pada umumnya mengakibatkan kenaikan persentase pengeluaran untuk makanan.
Data yang dilansir BPS mencatat, apabila dibandingkan dengan tahun 2019 lalu, ada indikasi peningkatan proporsi pengeluaran untuk makanan terutama pada kelompok menengah.
Pada 2019 lalu, kelas menengah mengalokasikan 41,05% pendapatan untuk belanja kebutuhan makanan. Lima tahun kemudian, alokasinya naik jadi 41,67%. Sisanya adalah proporsi pengeluaran untuk nonmakanan. "Pada kelas menengah, dalam lima tahun terakhir, proporsi pengeluaran untuk kendaraan dan hiburan menurun, tapi pengeluaran makanan meningkat," kata BPS.
Itu bisa dibaca sebagai salah satu indikasi telah terjadi tekanan daya beli pada kelas menengah dalam lima tahun terakhir. Lima tahun terakhir, sebanyak 9,48 juta kelas menengah turun kelas jadi calon kelas menengah.
Sementara terkait keluhan akan harga barang dan jasa yang dinilai makin mahal bahkan ketika data resmi menunjukkan deflasi dalam empat bulan terakhir, hal tersebut bisa dianalisis dari besar atau proporsi pengeluaran masing-masing kelas. Besar kecil proporsi itu akan mempengaruhi sensitivitas seseorang terhadap naik turun harga.
Kelompok menuju kelas menengah, serta kelompok rentan miskin dan kelompok miskin, memiliki proporsi pengeluaran yang didominasi oleh belanja makanan di mana angkanya memakan lebih dari 50% total pengeluaran.
Bila kelas menengah mencatat proporsi mencapai 41,67%, maka kelompok menuju kelas menengah memiliki proporsi pengeluaran untuk makanan sebesar 56,21%. Kelas ekonomi rentan dan kelas miskin masing-masing proporsinya lebih besar lagi, yaitu 61,49% dan 63,51%.
Adapun proporsi pengeluaran kedua terbesar yang dicatat oleh empat kelas ekonomi tersebut adalah pengeluaran untuk perumahan. Kelas menengah proporsi pengeluaran untuk perumahan mencapai 28,52%, lalu kelompok menuju kelas menengah sebesar 25,17%, kelas rentan miskin mencapai 22,79% dan kelompok miskin sebesar 21,67%.
Ketika harga barang dan jasa yang mendominasi proporsi pengeluaran tersebut naik alias terinflasi, maka keuangan kelompok ini juga terdampak. Bagian dari pendapatan yang harus dikeluarkan untuk membiayai kebutuhan itu pun makin besar. Apabila hal itu tidak diimbangi oleh kenaikan pendapatan, yang terjadi adalah penurunan daya beli karena alokasi untuk belanja kebutuhan nonmakanan jadi kian kecil bahkan habis.
Pada Agustus lalu, ketika inflasi umum atau Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat naik 2,12% year-on-year, inflasi kelompok makanan, minuman dan tembakau mencatat inflasi lebih tinggi yaitu 3,39%. Inflasi kelompok ini terutama disumbang oleh rokok dan tembakau yang naik 5,77% yoy.
Inflasi kelompok makanan, minuman dan tembakau, tersebut menyumbang 0,96% terhadap inflasi Agustus lalu. Beberapa komoditas pokok rumah tangga berikut juga dominan menyumbang inflasi tahunan yakni beras (0,43%), sigaret kretek mesin (0,12%), cabai rawit (0,11%), kopi bubuk (0,07%), gula pasir (0,06%), juga minyak goreng (0,04%).
Bagi mayoritas masyarakat terutama menengah bawah, kelas rentan serta miskin, komoditas-komoditas itu adalah barang kebutuhan yang banyak dibeli mengingat pengeluaran didominasi untuk kebutuhan perut dan dapur. Alhasil, meski secara umum Indeks Harga Konsumen menurun alias deflasi, inflasi kelompok makanan masih terjadi dan menguras pengeluaran kelas ekonomi menengah dan bawah.
Sementara pada kelompok pengeluaran perumahan, data BPS mencatat, inflasi perumahan termasuk di dalamnya sewa dan kontrak rumah, masih naik secara tahunan sebesar 1% pada Agustus. Begitu juga subkelompok pemeliharaan, perbaikan dan keamanan tempat tinggal/perumahan, juga mencatat inflasi 0,54% pada Agustus. Disusul inflasi subkelompok penyediaan air dan layanan perumahan lain yang naik 1,43%. Sewa dan kontrak rumah dominan menyumbang inflasi sebesar 0,03%.
Jadi, tidak mengherankan bila keluhan kenaikan harga barang yang menekan daya beli makin nyaring terdengar meski Indeks Harga Konsumen (indikator inflasi harga secara umum) mencatat penurunan. Nyatanya, untuk pengeluaran yang proporsinya besar di rumah tangga kelas menengah dan bawah, yakni makanan dan perumahan, kesemuanya masih mencatat inflasi alias kenaikan harga.
Ketika inflasi harga barang kebutuhan utama itu terjadi tanpa diimbangi kenaikan pendapatan, maka yang terjadi adalah seseorang akan terdesak memakai uang tabungannya agar pengeluaran tetap bisa ditutup. Ini yang menjelaskan mengapa fenomena 'mantab' masih berlanjut sampai hari ini.
-- update penjelasan inflasi inti.
(rui/aji)