Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Indonesia sudah mengalami deflasi 4 bulan beruntun yaitu pada Nei, Juni, Juli, dan Agustus. Bukan tidak mungkin September menjadi bulan yang kelima.

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data inflasi Tanah Air periode September pada Selasa (1/10/2024) esok hari. Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg dengan melibatkan 13 ekonom/analis menghasilkan median proyeksi terjadi deflasi tipis 0,01% pada September dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm).

Jika terwujud, maka Indonesia akan mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut. Catatan ini mendekati rekor terpanjang yaitu 7 bulan tanpa putus pada 1999, kala Indonesia masih dibekap krisis ekonomi-sosial-politik.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai deflasi, apapun sebabnya, merupakan hal negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, hal ini menunjukkan pemerintah tidak berhasil mengantisipasi perubahan.

"Sangat kuat tendensi bahwa deflasi ini dipicu oleh penurunan daya beli, apalagi tren deflasi ini terjadi sepanjang Mei, Juni, Juli, dan Agustus. Sangat sulit diterima pandangan bahwa terjadi suplai berlebih pada 4 bulan itu," ujar Wijayanto kepada Bloomberg Technoz, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, pandangan terkait penurunan daya beli ini semakin kuat melihat indikator lain seperti Purchasing Managers' Index (PMI) yang konsisten di bawah 50%. 

PMI Manufaktur Indonesia (Sumber: S&P Global, Bloomberg)

"Artinya produsen tidak optimis bahwa permintaan terhadap produk mereka akan meningkat," kata Wijayanto.

Sementara Bank Indonesia (BI) menilai deflasi beruntun menjadi buah bagi keberhasilan kebijakan moneter dan kerja sama efektif dengan otoritas fiskal dalam pengendalian harga. Asisten Gubernur Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan BI meyakini inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran sasaran 1,5-3,5% pada 2024 dan 2025.

Inflasi Tahunan Melambat?

Tidak inflasi bulanan, inflasi tahunan (year-on-year/yoy) September pun melambat. Konsensus Bloomberg yang melibatkan 28 ekonom/analis menghasilkan median proyeksi di angka 2%. Lebih rendah dibandingkan Agustus yang sebesar 2,12%.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menegaskan, perlambatan laju inflasi jangan hanya sekadar dimaknai sebagai penurunan daya beli. Ini juga bisa jadi menjadi bentuk perlambatan pertumbuhan harga barang dan jasa bahkan terjadi penurunan, yang menguntungkan justru konsumen.

“Jadi, ini kembali lagi bahwa saya melihat memang masih ada beberapa komoditas yang harga pangan itu masih turun,” kata Josua ketika ditemui awak media di Serang, Banten, pekan lalu.

Lebih lanjut, Josua menjelaskan bahwa rendahnya inflasi harga pangan bergejolak (volatile foods) terjadi akibat seri panen raya. “Panennya ini agak berseri, awalnya April-Mei itu padi, beras. Kemarin Agustus kan bawang merah,” ucap Josua.

Inflasi Inti Terakselerasi

Saat inflasi umum melambat, tetapi sepertinya tidak demikian dengan inflasi inti (core). Konsensus Bloomberg yang melibatkan 18 ekonom/analis menghasilkan median proyeksi inflasi inti September di 2,03% yoy. Sedikit lebih tinggi ketimbang Agustus yang sebesar 2,02% yoy.

Inflasi inti adalah keranjang barang dan jasa yang harganya susah naik-turun. Persisten, alias bandel. Jadi ketika harga yang bandel ini sampai bisa melambat, maka tidak heran perlambatan inflasi inti kerap diterjemahkan sebagai penurunan daya beli. 

Namun, inflasi inti justru diperkirakan terakselerasi pada September. Oleh karena itu, Josua menilai kesimpulan penurunan daya beli bukan satu-satunya jawaban.

“Jadi, kita nggak bisa menyimpulkan bahwa ini adalah, selalu merupakan penurunan daya beli. Inflasi itu ada dua sisi, permintaan dan juga supply-nya," tegas Josua.

(aji)

No more pages