Provinsi Sulawesi Tenggara tidak jauh berbeda, di mana jumlah pekerja terserap terbanyak sebanyak 25.894 orang, kemudian turun menjadi negatif 2.164 pekerja pada tahun ke-15. Hal ini menjadikan Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai yang terburuk dalam total kerugian lapangan kerja di antara provinsi-provinsi lainnya.
Maluku Utara pada tahun ke-3 mencapai 14.035 orang pekerja terserap. Kemudian, jumlahnya turun secara drastis dengan berkurangnya 218 orang.
“Tren ini konsisten dengan proyeksi penurunan output dari pertambangan, penggalian, dan semua sektor lainnya seiring dengan munculnya dampak eksternal negatif yang lebih nyata pada beberapa tahun kemudian.”
Upah Menyusut
Hasil serupa juga terlihat dalam grafik total upah selama 15 tahun. Total upah di industri nikel dari skenario BAU diklaim cenderung turun secara drastis dan lebih kecil dibandingkan dengan skenario energi baru dan terbarukan atau renewable energy (RE) dan pengendali polusi udara atau air pollution control (APC).
Skenario BAU bagi upah pekerja menunjukan adanya peningkatan awal dan mencapai puncaknya pada tahun ke-3, sebesar Rp19,95 triliun (US$1,29 miliar) per tahun.
Namun, dalam tahun-tahun berikutnya, upah justru terus mengalami penurunan signifikan hingga hanya mencapai minus Rp60 miliar (US$3,87 juta) per tahun. Penurunan ini sangat besar karena mencapai 333 kali lipat dari pendapatan terbesar.
“Penurunan yang mencolok ini kemungkinan besar disebabkan oleh berkurangnya permintaan akan tenaga kerja karena dampak negatif yang mulai berpengaruh pada berkurangnya output atas semua sektor ekonomi dan produktivitas tenaga kerja yang menurun akibat beban biaya kesehatan," papar riset tersebut.
Skenario RE dan APC memberikan hasil yang relatif lebih positif dibanding skenario BAU, baik secara nominal maupun tren.
Secara nominal, skenario ini menghasilkan upah pekerja yang lebih besar mulai tahun awal penerapan, sebesar Rp7,84 triliun (US$505,29 juta) dibandingkan dengan Rp4,28 triliun (US$276,13 juta) dalam skenario BAU. Jumlah upah terbesar mencapai Rp27,57 triliun (US$1,78 miliar) per tahun, 31% lebih banyak dari skenario BAU.
Dari sisi tren, meskipun pada akhirnya juga mengalami penurunan, skenario RE dan APC mampu menghasilkan jumlah upah pekerja yang lebih besar setiap tahunnya.
Bahkan, skenario RE dan APC sama sekali tidak memberikan hasil negatif selama 15 tahun. Tren dalam skenario RE dan APC kemungkinan besar dipengaruhi oleh produktivitas kerja yang lebih baik akibat mitigasi polusi udara di wilayah basis industri nikel. Namun demikian, pada tahun ke-14 dan ke-15 dampak mitigasinya kemungkinan akan menurun.
Sebelumnya, AS melalui Departemen Ketenagakerjaan atau US Department of Labor (US DOL) mengeklaim bahwa industri nikel di Indonesia menerapkan sistem kerja paksa.
Dalam laporan terbaru, US DOL menjelaskan warga negara asing (WNA) asal China direkrut untuk bekerja di Indonesia, berdasarkan laporan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Namun, saat tiba di Indonesia, pekerja justru mendapatkan upah yang lebih rendah dari yang dijanjikan dengan jam kerja yang lebih panjang hingga mendapatkan kekerasan secara verbal dan fisik sebagai hukuman.
Laporan tersebut menyebutkan kerja paksa terjadi pada kawasan industri di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, di mana China memiliki kepemilikan mayoritas atas kawasan ini.
“Pekerja secara teratur mengalami penyitaan paspor oleh pemberi kerja dan mengalami pemotongan upah secara sewenang-wenang, serta kekerasan fisik dan verbal sebagai bentuk hukuman,” sebagaimana dikutip melalui laporan 2024 List of Goods Produced by Child Labor or Forced Labor.
(dov/wdh)