Logo Bloomberg Technoz

"Maka, dengan adanya sedikit saja permasalahan di sana yang berdampak pada kelebihan kapasitas, maka kemungkinan banjir produk impor dengan harga dumping yang merupakan praktik unfair trade akan makin besar," tegasnya.

Sekadar catatan, dumping merupakan praktik perniagaan tidak sehat (unfair trade) yang dilakukan suatu negara dengan cara menjual atau 'membuang' (dump) barang buatannya ke luar negeri, dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga di dalam negerinya.

Dalam kaitan itu, China kini tengah meluncurkan serangkaian langkah stimulus ekonomi besar-besaran belum lama ini, mencakup pelonggaran moneter hingga dukungan sektor properti yang sedang terpuruk.

Ekonom Sangsi

Berkaitan dengan stimulus ini, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin merasa sangsi bahwa pemberian stimulus oleh Pemerintah China, untuk menstabilkan sektor properti di negara tersebut, dapat menyelamatkan industri baja di Negeri Panda dari krisis.

Hal ini berkaca pada kasus sama yang terjadi pada 2008—2009, di mana saat itu Pemerintah China memberikan stimulus melalui insentif pembangunan infrastruktur dan properti yang dijadikan sebagai motor pertumbuhan ekonomi.

Namun, Wijayanto meyakini akan sulit bagi Pemerintah China untuk kembali memberlakukan insentif tersebut.

"Sangat diragukan apakah Pemerintah China kali ini akan memberikan stimulus jumbo lagi. Mengingat sejak pertengahan 2022, industri baja China mengalami net-margin negative, saat ini mereka sedang dalam survival mode, sehingga jika insentif diberikan sifatnya jangka panjang, apalagi pasar domestik sedang mengalami perlambatan yang akut," kata Wijanyanto kepada Bloomberg Technoz

Ilustrasi baja (Dok: Bloomberg)

Dengan demikian, Wijanyanto memperingatkan krisis industri baja China kali ini akan berpotensi cukup lama terjadi dan akan memberikan dampak signifikan terhadap industri baja global, termasuk Indonesia.

Selain itu, menurutnya, masalah yang dihadapi China bukan hanya fluktuasi pasokan dan permintaan, tetapi juga faktor struktural dalam industri baja serta dinamika perdagangan dunia.

"Paling tidak ada 3 sebab: (1) penurunan permintaan domestik karena perlambatan sektor infrastruktur dan properti, (2) pembatasan impor produk China, khususnya oleh UE, AS, dan Kanada, melalui penerapan tarif antidumping yang tinggi, 25%—100%, (3) penumpukan produk baja dan bahan bakunya akibat oversupply selama 2 tahun terakhir," tegasnya.

Mengutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS), negara tujuan ekspor China untuk produk besi dan baja mereka adalah Indonesia dengan volume selama kurang lebih 4 tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Volumenya mencapai 1,83 juta ton pada 2020; 2,51 juta ton pada 2021; 2,71 juta ton pada 2022; dan 3,71 juta ton pada 2023.

Meski demikian, Bloomberg Intelligence (BI) belum lama ini menilai krisis baja China tengah menuju gelombang kebangkrutan dan mempercepat konsolidasi industri yang sangat dibutuhkan.

Hampir tiga perempat dari produsen baja di negara itu mengalami kerugian di paruh pertama dan kebangkrutan kemungkinan besar akan terjadi pada banyak di antaranya, Michelle Leung, analis senior di BI, mengatakan dalam catatannya.

Permintaan pabrikan baja China turun./dok. Bloomberg

Xinjiang Ba Yi Iron & Steel Co, Gansu Jiu Steel Group dan Anyang Iron & Steel Group Co menghadapi risiko tertinggi, dan dapat menjadi target akuisisi potensial.

Gelombang konsolidasi akan membantu Beijing mendorong lebih banyak konsentrasi pada industri bajanya, ujar BI. Pemerintah ingin lima perusahaan teratas menguasai 40% pasar pada 2025 dan 10 perusahaan teratas menguasai 60%.

Target-target ini terlihat "dapat dicapai," meskipun China masih akan berada jauh di belakang Korea Selatan dan Jepang dalam hal ini, kata Leung.

Menariknya, Presiden Xi Jinping dan para pemimpin tinggi China menyerukan peningkatan pengeluaran fiskal, langkah-langkah untuk menstabilkan sektor properti, dan pemotongan suku bunga yang lebih agresif. Langkah ini mencerminkan urgensi pemerintah untuk menghentikan penurunan ekonomi China yang terus melambat.

Dalam pertemuan Politbiro yang dihadiri 24 anggota, China berkomitmen untuk mencapai target ekonomi tahunan.

Menurut laporan Xinhua pada Kamis (26/9/2024), pemerintah akan mengambil tindakan lebih tegas untuk menahan penurunan pasar properti, yang selama ini menjadi salah satu faktor terbesar yang memperlambat ekonomi dan kinerja industri, termasuk sektor baja.

(prc/wdh)

No more pages