Namun sepanjang pekan lalu, harga emas masih membukukan kenaikan 1,6% secara point-to-point. Ini menjadi kenaikan mingguan selama 3 pekan berturut-turut.
Dalam sebulan terakhir, harga emas melonjak hampir 6%,
Koreksi harga emas sepertinya terjadi karena investor melakukan aksi ambil untung alias profit taking. Maklum, kenaikan harga emas sempat membawa komoditas ini ke titik termahal sepanjang sejarah.
Selain itu, investor juga mencerna rilis data inflasi Personal Consumption Expenditure (PCE) di Amerika Serikat (AS). US Bureau of Economic Analysis melaporkan, inflasi PCE pada Agustus tercatat 0,1% pada Agustus dibandingkan Juli (month-to-month/mtm). Lebih rendah ketimbang Juli yan sebesar 0,2% mtm dan sesuai dengan ekspektasi.
Sementara laju inflasi PCE inti (core) berada di 0,1% mtm pada Agustus. Lagi-lagi melambat dibandingkan Juli yang sebesar 0,2% dan perlambatan ini sesuai dengan proyeksi pasar.
Sedangkan laju inflasi PCE secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Agustus adalah 2,2%. Melambat dibandingkan Juli yang sebesar 2,5% yoy, dan lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar yang sebesar 2,3%. Capaian 2,5% yoy juga menjadi yang terendah sejak Februari 2021.
Namun, laju PCE inti secara tahunan ada di 2,7% pada Agustus. Lebih tinggi ketimbang Juli yang sebesar 2,6%, meski ini sesuai dengan perkiraan pasar.
Dengan laju inflasi yang bergerak mengarah ke target 2% seperti yang dicanangkan bank sentral Federal Reserve (The Fed), maka suku bunga acuan diperkirakan bisa turun lagi. Berdasarkan CME FedWatch, kemungkinan penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,5-4,75% pada November adalah 47,2%.
Adapun probabilitas pemangkasan yang lebih agresif yakni 50 bps ke 4,25-4,5% adalah 52,8%.
Emas adalah aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding asset). Memegang emas akan lebih menguntungkan saat suku bunga turun, karena ikut menurunkan opportunity cost.
(aji)