“Tidak sepantasnya laporan tersebut generalisasi praktik yang dituduhkan terjadi di industri nikel di Indonesia. Banyak contoh praktik positif penambangan nikel di Indonesia yang justru jadi contoh best practices baik yang diberikan oleh pemerintah atau lembaga internasional yang punya reputasi bagus,” ujarnya.
Selain itu, Hendra mengatakan laporan tersebut juga seharusnya dikonsultasikan ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan.
“Kami dari IMA sebagai mitra pemerintah siap untuk berkomunikasi dengan lembaga yang membuat laporan tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya, AS melalui Departemen Ketenagakerjaan atau US Department of Labor (US DOL) mengklaim bahwa industri nikel di Indonesia menerapkan sistem kerja paksa.
Dalam laporan terbaru, US DOL menjelaskan warga negara asing (WNA) asal China direkrut untuk bekerja di Indonesia, berdasarkan laporan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Namun, saat tiba di Indonesia, pekerja justru mendapatkan upah yang lebih rendah dari yang dijanjikan dengan jam kerja yang lebih panjang hingga mendapatkan kekerasan secara verbal dan fisik sebagai hukuman.
Laporan tersebut menyebutkan kerja paksa terjadi pada kawasan industri di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, di mana China memiliki kepemilikan mayoritas atas kawasan ini.
“Pekerja secara teratur mengalami penyitaan paspor oleh pemberi kerja dan mengalami pemotongan upah secara sewenang-wenang, serta kekerasan fisik dan verbal sebagai bentuk hukuman,” sebagaimana dikutip melalui laporan 2024 List of Goods Produced by Child Labor or Forced Labor, dikutip Jumat (27/9/2024).
Indikator lain dari kerja paksa di kawasan industri tersebut antara lain pembatasan pergerakan, isolasi, pengawasan terus-menerus, dan kerja lembur paksa; yang semuanya dilaporkan sebagai praktik umum dalam produksi nikel di kawasan industri.
(dov/lav)