Indikator lain dari kerja paksa di kawasan industri tersebut antara lain pembatasan pergerakan, isolasi, pengawasan terus-menerus, dan kerja lembur paksa; yang semuanya dilaporkan sebagai praktik umum dalam produksi nikel di kawasan industri.
Laporan tersebut menyebutkan kawasan industri mempekerjakan sekitar 6.000 WNA China dalam berbagai macam kapasitas.
Dalam sebuah kesempatan, Deputy Undersecretary for International Labor Affairs US DOL Thea Lee mengatakan kerja paksa mencemari rantai pasokan mineral penting lainnya, termasuk aluminium dan polisilikon dari China, nikel dari Indonesia serta kobalt, tantalum dan timah dari Democratic Republic of the Congo (DRC).
“Pekerja menghadapi penyalahgunaan [abuses] seperti lembur yang berlebihan dan tidak sukarela, pekerjaan yang tidak aman, upah yang tidak dibayarkan, denda, pemecatan, ancaman kekerasan, dan ikatan utang,” ujar Lee dalam press briefing.
Kemenaker Investigasi
Menyikapi tudingan AS tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan bakal mulai melakukan investigasi untuk menindaklanjuti laporan dari US DOL yang mengindikasikan adanya kerja paksa dalam industri nikel di Indonesia.
Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kemenaker Yuli Adiratna mengatakan laporan dari US DOL sebenarnya masih berupa indikasi, tetapi tetap menjadi perhatian pemerintah.
“Diinvestigasi, pasti kita akan turun. Hal yang dimaksud AS itu kan masih indikasi. Nah tentu walaupun indikasi, itu menjadi perhatian penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kejadian kerja paksa itu memang benar-benar tidak ada,” ujar Yuli saat ditemui di Jakarta Pusat, Kamis (26/9/2024).
(dov/wdh)